SAJAK SEHARIAN
ANTOLOGI
TUNGGAL
WAHID
MUSLIM
Inspirasi bisa
muncul dari mana saja, dan datang kapan saja. Proses kreatif memang perlu
memanfaatkan yang dekat dengan sekeliling untuk dimasukan dalam menuangkan
rasa. Koreksi juga masih perlu digunakan, diantaranya dengan kembali menyelami
kata demi kata kemudian mencari kemantapan. Artinya kita memperbaiki diri
dengan proses yang beriringan dengan memperbaiki karya. Begitu harapannya. Maka
dalam antologi ini berisi sajak tentang pengungkapan rasa dengan lanskap hari
yang penulis lalui. Selamat menikmati, jangan lupa tinggalkan keritik, saran,
dan masukan di kotak komentar.
Salam Ka(r)ya!
SLOGAN
SEPANJANG HARI UNTUKMU
Akulah malam-malam panjang
yang hadir padamu
dengan rangkaian bunga mimpi.
Aku biru langit, yang tersisa di ujung senja
bersama satu-dua bintang
engkau menunggu keindah malan datang.
Aku matahari pagimu
yang tak rela mimpimu tinggal mimpi
semburat emas adalah tekat muliamu
bersama awan aku niscayakan itu dalam embun pagi
maka tampunglah
dalam secawan madu.
Aku adalah siang
adalah siang yang menasehatimu
:mimpi itu panjang
namun usiamu tak sepanjang masa
minumlah embun madumu
walau angin dan hujan
menderu, iri padamu.
Aku adalah senja
pelukis timur langit
dengan lembayung dan hitam kelambu
aku berada dipelupuk matamu
yang kaumau tinggal kauraih.
Kembali malam, kembali berjumpa
dengan seikat mimpi
kepadamu jangan lupakan aku
tak ada yang lebih untukku
selain dunia mengizinkanku
mengenggam tanganmu.
Lampung Timur, 16 Agustus 2014
Akulah malam-malam panjang
yang hadir padamu
dengan rangkaian bunga mimpi.
Aku biru langit, yang tersisa di ujung senja
bersama satu-dua bintang
engkau menunggu keindah malan datang.
Aku matahari pagimu
yang tak rela mimpimu tinggal mimpi
semburat emas adalah tekat muliamu
bersama awan aku niscayakan itu dalam embun pagi
maka tampunglah
dalam secawan madu.
Aku adalah siang
adalah siang yang menasehatimu
:mimpi itu panjang
namun usiamu tak sepanjang masa
minumlah embun madumu
walau angin dan hujan
menderu, iri padamu.
Aku adalah senja
pelukis timur langit
dengan lembayung dan hitam kelambu
aku berada dipelupuk matamu
yang kaumau tinggal kauraih.
Kembali malam, kembali berjumpa
dengan seikat mimpi
kepadamu jangan lupakan aku
tak ada yang lebih untukku
selain dunia mengizinkanku
mengenggam tanganmu.
Lampung Timur, 16 Agustus 2014
SECANGKIR
WEDANG TEH
Aku tinggalkan mimpi semalam yang menapak bantal, guling dan kasur
Dunia tanpa aroma-manis
Aku letih dengan lukisan angan
yang membius kesadaran
Kini secangkir wangi pagi mencuri sunyi
membentak aku yang hendak terlelap selepas subuh
Warnanya hanya satu, coklat emas.
Namun wanginya bernada
dengan larutan gula
bersekutulah hangat
bergumul dengan lidah.
20 Februari 2014
Aku tinggalkan mimpi semalam yang menapak bantal, guling dan kasur
Dunia tanpa aroma-manis
Aku letih dengan lukisan angan
yang membius kesadaran
Kini secangkir wangi pagi mencuri sunyi
membentak aku yang hendak terlelap selepas subuh
Warnanya hanya satu, coklat emas.
Namun wanginya bernada
dengan larutan gula
bersekutulah hangat
bergumul dengan lidah.
20 Februari 2014
SAJAK PAGI
Kokok ayam melantunkan nyanyian cakrawala
isyaratkan malam yang terlewatkan
telah berganti menjadi hari baru.
Lampu malam pun perlahan mengalah, dikalahkan cahaya matahari
Beberapa anak manusia lari-lari kecil di jalanan
yang lain membaca Quran menanti waktu syuruk
satu lagi, dengkuran seusai subuh
Dan aku menguntai kata, berbica pada diri
:akan lari kemana jemari sajak?
Akan terus kutelusuri dimensi alam pikir mencari jawab
hingga aku temukanmu
asaku
Akhir Maret 2014
Kokok ayam melantunkan nyanyian cakrawala
isyaratkan malam yang terlewatkan
telah berganti menjadi hari baru.
Lampu malam pun perlahan mengalah, dikalahkan cahaya matahari
Beberapa anak manusia lari-lari kecil di jalanan
yang lain membaca Quran menanti waktu syuruk
satu lagi, dengkuran seusai subuh
Dan aku menguntai kata, berbica pada diri
:akan lari kemana jemari sajak?
Akan terus kutelusuri dimensi alam pikir mencari jawab
hingga aku temukanmu
asaku
Akhir Maret 2014
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PAGI MENJELANG SIANG
dalam diam aku bisikan siang
:wujudumu seperti pagi
desau pisau risau hunjam angin waktu
walau aku terus membisu, akan usia kian mendaki
tadi pagi kurebah girang mampu melawan kantuk
kupejam mata sejenak
tak kuduga angka pada jam telah berubah
kuharus terus berjalan lurus, nyatanya
ketika kita puas akan harapan yang terbelenggu
tak kita tahu perlahan rantai-rantai waktu menyimpul badan yang terbuai
tanpa ujung perjuangan manusia hidup
kecuali kematian pemutus
|tiga maret duaribu empat belas|
dalam diam aku bisikan siang
:wujudumu seperti pagi
desau pisau risau hunjam angin waktu
walau aku terus membisu, akan usia kian mendaki
tadi pagi kurebah girang mampu melawan kantuk
kupejam mata sejenak
tak kuduga angka pada jam telah berubah
kuharus terus berjalan lurus, nyatanya
ketika kita puas akan harapan yang terbelenggu
tak kita tahu perlahan rantai-rantai waktu menyimpul badan yang terbuai
tanpa ujung perjuangan manusia hidup
kecuali kematian pemutus
|tiga maret duaribu empat belas|
------------------------------------------------------------------------------------------------
SENANDUNG SUNYI
Lihat dan lilatlah itu!
sewajah berparas cerah
berjajar rambut jarum di atas kepala
lalu sehelai rambut emas membelai netra
Oh, pagiku datang lagi
menepi di hati tak bertepi mimpi
berapi angan, menjelaga alam
sekian kali datang tanpa menang
Dalam diri terhampar ladang kebisuan
tertanam kosong
menuai angin
tanpamu jiwa sunyi menghuni raga
separuh tujuan hidup tertuju
dan kini hilang
hanya mampu berkaca sepi
Kupandang bayang matahari,
menuai warna netra surya
mencari dirimu yang baru
Lampung Timur, 4 Agustus 2014
Lihat dan lilatlah itu!
sewajah berparas cerah
berjajar rambut jarum di atas kepala
lalu sehelai rambut emas membelai netra
Oh, pagiku datang lagi
menepi di hati tak bertepi mimpi
berapi angan, menjelaga alam
sekian kali datang tanpa menang
Dalam diri terhampar ladang kebisuan
tertanam kosong
menuai angin
tanpamu jiwa sunyi menghuni raga
separuh tujuan hidup tertuju
dan kini hilang
hanya mampu berkaca sepi
Kupandang bayang matahari,
menuai warna netra surya
mencari dirimu yang baru
Lampung Timur, 4 Agustus 2014
------------------------------------------------------------------------------------------------------
KEHILANGAN MALAM
Bersama bintang subuh, di barat sana
kupandang malam
bersusah payah memanggul purnama
cemas merantai sukma, laskar cahaya mengancam
teruslah abadi duhai malam
awan tipis putih bukan penghalang
Ke barat kaupulang
pinjamkanlah satu rembulan untuk bola mataku
apalah itu, kata-kataku ibarat embun
musnah kala perang cahaya
Aku merindukanmu
selayaknya bintang nirmala tanpamu
biarlah kubayang-bayangi cahaya
walau lelukaku membeku
kau tak datang, hanya mendung mengandung
tertawa kekalahan
Lalu sunyi menyeret kekosongan
tak mampu kupandang kenangan, hilang
aku mencintaimu dalam kebencian!
untukmu hanya kebisuanku, sempurnalah keheningan
Lampung Timur, 11 Agustus 2014
Bersama bintang subuh, di barat sana
kupandang malam
bersusah payah memanggul purnama
cemas merantai sukma, laskar cahaya mengancam
teruslah abadi duhai malam
awan tipis putih bukan penghalang
Ke barat kaupulang
pinjamkanlah satu rembulan untuk bola mataku
apalah itu, kata-kataku ibarat embun
musnah kala perang cahaya
Aku merindukanmu
selayaknya bintang nirmala tanpamu
biarlah kubayang-bayangi cahaya
walau lelukaku membeku
kau tak datang, hanya mendung mengandung
tertawa kekalahan
Lalu sunyi menyeret kekosongan
tak mampu kupandang kenangan, hilang
aku mencintaimu dalam kebencian!
untukmu hanya kebisuanku, sempurnalah keheningan
Lampung Timur, 11 Agustus 2014
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
MENGHUNUS
JARAK BERTABIR
1.
Siang itu; ketika Bakda Dhuhur
Rintih-rintik hujan menggoda keteguhan tekat
Aku harus beranjak menembus rahasia langit
Meski jaketku ketaton, di seberang sana kuyakin
Masih ada cahaya awan menyilaukan netra
Dan terus kuhunus jarak bertabir
2.
Kembali aku menuju peraduan, setelah rasa takut kukalahkan
Kulihat di ufuk barat sana
Matahari bersiap-siap menuju belahan dunia lainnya
Seperti biasanya para pujangga akan menikmati warna senja
Apa lagi gerimis tadi siang, mega mendung akan tercipta
3.
Tidak, aku memilih menandang ufuk timur
Terbentang barisan penari sawah: hijau dan perawan
Aku mementang pandang dengan parang kekaguman
Biru toska dan putih aromanis tipis terhidang
Segera aku santap
Sebelum petang dan malang datang melumat
Lampung Timur, 23-24 April 2014
================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar