HARAPAN YANG DINANTI
ANTOLOGI TUNGGAL
WAHID MUSLIM
Eksistensi
manusia hidup ialah ketika ia tak pernah letih untuk berharap. Tak ada kata
terbersit dalam benak untuk memutuskan dan memupuskan cita-cinta luhur yang
telah ia kukuhkan sebelum terlahir di dunia ini. Manusia di ciptakan dengan
cinta, dan berikrar akan terus mengikuti Sang Pencipta dan Pembolak-Balik Hati.
Dia menciptakan gejolak hati agar dalam perjalanan hidup menuju surga-Nya, tak
bosan, penuh warna dan penuh petualangan yang menantang.
Maka
dalam setiap ukiran kisah hidup penulis sesekali mendapati seebuar rasa yang
disebut cinta, mewarnai beberapa ukiran pejalanan penulis dalam menggalah
harapan (ke dalam bentuk puisi). Penulis sebagai mana manusia umumnya, memiliki
syahwat dan nafsu yang masih liar dan terkadang sulit dijinakan. Syahwat yang
sebenarnya hanya pantas berkutat pada tataran semangat, gairah, dan gejolak
lainnya yang sesuai dengan isyarat nurani yang terus merindu kepada
petunjuk-Nya untuk berjalan di atas kebenaran. Sebagaimana manusia biasa
lainnya, penulis memiliki idealisme spiritulal yang terejawantahkan dari
pancaran nurani. Bahwa harapan itu akan diraih ketika kita bersabar dalam
kebenaran yang telah ditentukan-Nya.
Dinamika apa pun kelak
yang akan kita alami ke depan, jangan pernah melenceng dari nilai ideaalisme
gema batin dan kilauan cahaya nurani. Idealisme yang suci bukan idealisme yang
kaku, namun idealisme yang bersandar kepada realita, kebenaran, kejujuran dan
nilai-nilai Ilahiyah. Idealisme yang kaku bukan idealisme, namun ambisi. Ambisi
akan menghantarkan pada kekonyolan atau menjungkir balikan kedalam pragmatisme
yang berkedok nilai rasional. Semoga antologi puisi “Harapan Yang Dinanti” dapat
pembaca petik nilai hikmahnya. Bila sekiranya menggangap sekedar curahan hati,
semoga curahan hati ini mampu menyejukan gejolak emosional pembaca, dan mampu
mengobarkan semangat batin pembaca yang
mulai redup menggalah harapan cinta sejati. Salam ka(r)ya!.
HARAPAN MELIRIKKU
di tengah kamar malam, muncullah cahaya mekar
syukur, sedepa demi sedapa Harapan
mau melirikku
sejak kemarin cemas akanmu, tingkahmu membelakangiku
sejak kemarin cemas akanmu, tingkahmu membelakangiku
kuhanya melihat sekuncup jilbab
menutup
tirai gelap mulai tersibak, sabar melawan gejolak
dalam hati menunggumu harap kompak
siapa gerangan Harap? aku menanti
kita dapat berkenalan
aku pernah berpikir wajahmu rembulan
bukan! cahayamu melawan lentera
jalan
sebagai cahaya kita bersahabat
anggukanmu menyiratkan engkau bunga tepi jalan
anggukanmu menyiratkan engkau bunga tepi jalan
bukan! bunga milik rumah di tepian
jalan
engkau menggeleng aku harus lanjut
jalan-jalan
aku terus mencarimu duhai Harapan yang belum jua kutemukan
kadang seketika engkau ketepian,
tak kusiakan ingin segera berbagi pengalaman
engkau tak berbalik, menoleh kepada orang lain :mengharapkanmu
engkau tak berbalik, menoleh kepada orang lain :mengharapkanmu
kau bukan Harapanku
kali ini engkau hadir ketepian sekian lama dari penantian
kali ini engkau hadir ketepian sekian lama dari penantian
apakah engkau Harapan yang
kunantikan?
Kota Metro,
Lampung 23-08-2013 sd
04-04-2014
HARAPAN YANG DINANTI
siang mulai larut dipudarkan oleh
petang
petang semakin pekat, malam datang
dan lampu-lampu di taman perlahan berkedip
mengibas malam, terang jalan
terungkap
di bawah lampu jalan bayangan gadis berkerudung
seperti apa rautmu, dengan rasa
penasaran aku telah bertarung
sudah lama aku bertaruh dengan ketidakyakinan
keberanian telah berbalut sabar,
cahaya menyibak bayangan
kini kita berhadap-hadapan
kini kita berhadap-hadapan
pasal-pasal perkenalan telah
terbakar keheranan
telah lama bertemu namun tak saling
mengenal
keyakinan lampu sepanjang jalan akan terus mengawal
hingga aku halal memegang tanganmu
siapa gerangan namamu wanitaku?
LIRIKAN LIRIH HARAPAN
Tetesan embun masih
tertingal di dedaunan
Biyarlah angin menyeka
air mataku
Biyarlah gerimis
menghapus bekas kesedihan
aku menyulam koyak-moyak harapan
di waktu langit masih taram-temaram
siang pun sirna, subuh
berteman rembulan buram
potret manusia sejuta
harap menanti masa cerlang-cemerlang
oh! gembira buah
harapan
aku tidak tahu datangnya, tidak pula
perginya
kau seperti tiada
kini kilat bayangmu
muncul
mersik-kering, suara jantung
“jangan berputus asa, teruslah kau
bersabar dalam berjuang
jangan sampai kau tergolek kalah,
di depan pintu gerbang kemenangan.”
Kota Metro, Lampung 30 Desember 2013-14
Januari 2014
CITRAAN
BATIN
Layaknya embusan angin, tak akan bermakna tanpa
puisi.
Hanya udara digerakkan kebosanan.
Hanya udara digerakkan kebosanan.
Kita tak harus menuju lautan untuk menyelami
gejolak ombak.
Tak harus ke bukit, menukik bahaya.
Tak harus ke bukit, menukik bahaya.
Lihatlah langit, sejuta citraan batin terbentang.
Bergulung-gulung awan berjalan, membawa duka lara masa silam.
Bergulung-gulung awan berjalan, membawa duka lara masa silam.
Kembali angin berembus, menyugar helaian rambut.
Haruskah aku titipkan pesan untukmu
Bahwa hatiku antre
Di luar pagar gerbang aku tak sabar
Sejuta rasa untuk kuparkirkan.
Haruskah aku titipkan pesan untukmu
Bahwa hatiku antre
Di luar pagar gerbang aku tak sabar
Sejuta rasa untuk kuparkirkan.
29 Maret 2014
MENCARI WUJUD RAGA CINTAKU
Berbaris semut merayap tembok
tak pernah meyerah sekalipun
berulang kali
tuanmu menuang minyak, buyar
jalur barisanmu.
Merayap
sejuta penasaran dalam batin.
Berkali-kali
aku bertanya: ragamu itu yang mana duhai cinta?
Kau
bereinkarnasi tanpa henti, bergulat dengan destinasi yang salah.
Mungkin
akulah yang menyelewengkan jalanmu
namun mengapa kausepuh
rinduku dengan orang jalanan?
Kapan
moksamu engkau rengkuh?
Menjadi
semburat nirmala yang bersanding dengan cahaya batinku
Engkau tak bergeming,
melantur melantukan segala kebimbanganku
dengan ketetapan Tuhan.
Kauhanya
menjelmakan tanya menjadi kerisauan.
Aku pun
melangkah dua kali belok kanan, mencari ragaku sendiri.
Terus
kulalui jalanan kosong...
oh itu
perigi!
Sesaat aku melarungkan
keletihan tanyaku padanya.
Kota Metro, 010214
PERCAKAPANKU DENGAN CERMIN
Duhai cermin, kumelihat rindu
di mozaik matamu
Kau berujar:
"Sekarang gak ada cewek
yang dipangil sayang,
rasanya hampa...
Kapan ada lagi, denganku saling
ucap kasih sayang?"
Sabarlah, jika kau sabar
aku semakin sayang pada kamu...
Jangan terus meringkuk pilu
Kudatang basuh lukamu
Siapa yang akan menyemangatiku
Jika bukan kau!
Jangan kaumuram, memandangku
aku tak akan memecah wajahmu
kita saling membutuhkan.
Lihat, banyak mimpi bergelantungan!
Kemuramanmu, tak akan mengundang
Ibu Peri bersayap merpati
“simlababim!”
seketika Bidadari bermata jeli turun.
Buang siluet sinetron dari anganmu!
Sayangmu menunggu kesiapanmu
rabutmu gondrong, kumismu panjang
wajahmu berjerawat, jidatmu kurang cahaya.
Mimpi masih bergelantungan
di atas pohon asa.
Pegang galah ini!
kita unduh mimpi
yang mengampai di atas kapstok
kita gapai semua yang mengampai.
14:00 26 Deseember 2013
Duhai cermin, kumelihat rindu
di mozaik matamu
Kau berujar:
"Sekarang gak ada cewek
yang dipangil sayang,
rasanya hampa...
Kapan ada lagi, denganku saling
ucap kasih sayang?"
Sabarlah, jika kau sabar
aku semakin sayang pada kamu...
Jangan terus meringkuk pilu
Kudatang basuh lukamu
Siapa yang akan menyemangatiku
Jika bukan kau!
Jangan kaumuram, memandangku
aku tak akan memecah wajahmu
kita saling membutuhkan.
Lihat, banyak mimpi bergelantungan!
Kemuramanmu, tak akan mengundang
Ibu Peri bersayap merpati
“simlababim!”
seketika Bidadari bermata jeli turun.
Buang siluet sinetron dari anganmu!
Sayangmu menunggu kesiapanmu
rabutmu gondrong, kumismu panjang
wajahmu berjerawat, jidatmu kurang cahaya.
Mimpi masih bergelantungan
di atas pohon asa.
Pegang galah ini!
kita unduh mimpi
yang mengampai di atas kapstok
kita gapai semua yang mengampai.
14:00 26 Deseember 2013
KELAHIRAN SAHABAT SUKMA
saat pertama kautatap cermin, aku datang
tersimpuh-rimpuh mengulum keluh
kaunanang fragmen mozaik, retak-berantak
keindahan yang menyerpih,
tak ada bahagia
kausketsa wajahku
dengan air mata
kuyup,
menggeletar tempurung sanubari
berkilatlah sukma, sinau-silau menghunjam-tunjam ...
utas tubuhmu terburai bersama
kelahiran jasad tanpa jiwa: pada kilapan
cermin air mata
sukmaku hinggap, hiduplah seinsan
harapanmu kepadaku
beradu
tersirat surat pengikat
aku sebagai cindaimu
Lampung Timur, 02 September 2014
BERLIAN DI PELUPUK MATA
Duhai berlian di pelupuk mata
kapan aku mampu menebak ujud kilau
sinarmu
yang sering bertaruh dengan sorot
mataku.
Pandanganku kau tawan, akibat
kekalahanku
di meja perjudian harga diri.
Aku teringat saat pertama kauhinggap
kala aku tanpa badan
anting bidadari menghalangi
pandangku.
Siapakah majikanmu? aku tak tahu
raut pemilikmu
terlambat, terbawa aku dalam
kelahiran.
Mungkin kau akan terus mengantung di
pelupuk mata
akan mencair di pundak haru
bidadariku.
Tapi dengan pundak siapa kaukembali?
Jangan kaukira hanya kamu yang
risau,
aku terus dicengkeram gusar!
hasrat bersandar di sembarang pundak
kadang muncul
namun sapu tangan akan menjadi abu,
hendak aku menyekamu.
Kau tak mau tumpah di pundak binal
ataukah engku yang bandel?
ataukah aku yang masih bebal?
kehendak Tuhan yang menitip misteri
bidadariku
masih belum mampu kubaca.
Kota Metro, Lampung, Indonesia 06 Januari 2014, 16:43 WIB
PENA ASMARA MERANA
Akulah pena, tak pernah
lelah menggores
bersamamu cerita cinta
tercurah.
Kini aku sendiri tanpa kertas
Kini aku sendiri tanpa kertas
uraian cinta pun tertahan
pada sebait puisi rumpang.
Masih teringat, bahasa
cintamu yang tak kupahami
kini tinggal suatu paragraf
yang tak selesai
aku tanpamu tak lengkap
separuh jiwaku, kapan
gerangan terungkap?
akankah tinta mengering
sebelum kutemukan kau berada?
Kepada siapa, kuurai semua
kisah? dari yang sederhana hingga teragis.
Kemana kau melayang, sayang?
entahlah!
Kadang kuingin menyerah,
kucoret dinding dan tembok.
Namun semakin buat kuresah, akan punahnya rasa yang
terlukis.
Kini kusadari aku berada di
tengah gelap-gulita,
semestinya yang kucari bukan
kertas
namun secercah cahaya
segera kututup mata pena,
kuyakin kau ada di sini
pijar harapan-sucilah yang
tahu engkau berada kini.
Kota Metro,Lampung 30 Juni 2013
MATA BATIN PERMATA HATI
seratus puisi sudah, aku goreskan
tentangmu
duhai cinta, jemariku telah menjadi
mata pena
menggores utaian rasa dengan pikir
sebagai tintanya
kau masih menjadi misteri
risauku terasa tak kauhiraukan
engkau terus tusuk hatiku
mungkin aku harus mengasah
permata mata batinku
kikir syariat begitu liris
sekalipun kikir pemabuk mengasyikan
hasilnya melelehkan liur anjing.
Aku terus tulis puisi cinta, hingga
sejuta harap
mengkristal menjadi permata hati.
Kota Metro, Lampung 06
Januari 2014, 21:54 WIB
TEMBOK MISTERI
Menunduk di bawah kaki tirai
Menunduk di bawah kaki tirai
siapa gerangan di seberang hijab?
pikiran tak dapat mengecap.
Di balik tanggul seberang sungai
aku terus
mewanti-wanti, duhai misteri
dalam gaib kita
bersalaman.
Kita telah ditetapkan akan bertemu di atas sampan.
Sudah kepastian,
melepas tirai jarak.
Kau tak dapat
menggapai,
jika tanganmu tak
kauulurkan.
Aku dapat menjumpaimu,
jika tak melangkah
melewati jejakjejak kehampaan.
Perlahan seberang sungai tertutup tanggul bertembok
Perlahan seberang sungai tertutup tanggul bertembok
kini hatiku pun
tergembok, dari mereka-reka sewujud sosok.
Berada di balik tirai
terus aku menebak, walau aku terus terpojok.
16:40 19 Desember 2013
MENUJU PELABUHAN SURGA
Senja raya terurai senyum
cahayamu....
balas puisi rinduku....
gayung bidukku kau sambut
hatimu menggamit hatiku
kerlingan matamu, isyarat kita satu
padu
Kau nobatkan aku jadi nahkodamu
asaku jadi lautan mimpimu
relakanlah permata jantungmu
jadi hiasan topi kaptenku.
Pelabuhan surga, ujung penantian
tegurlah, jika aku mengantuk mengayuh
prahara lautan menunggu kita letih
keputusasaanlah bencana
teruslah engkau menjadi semangat di dada.
Kota Metro,Lampung 06 Januari 2014,
21:20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar