Minggu, 31 Juli 2016

HARAPAN YANG DINANTI (ANTOLOGI TUNGGAL WAHID MUSLIM)

HARAPAN YANG DINANTI
ANTOLOGI TUNGGAL
WAHID MUSLIM
Eksistensi manusia hidup ialah ketika ia tak pernah letih untuk berharap. Tak ada kata terbersit dalam benak untuk memutuskan dan memupuskan cita-cinta luhur yang telah ia kukuhkan sebelum terlahir di dunia ini. Manusia di ciptakan dengan cinta, dan berikrar akan terus mengikuti Sang Pencipta dan Pembolak-Balik Hati. Dia menciptakan gejolak hati agar dalam perjalanan hidup menuju surga-Nya, tak bosan, penuh warna dan penuh petualangan yang menantang.
     Maka dalam setiap ukiran kisah hidup penulis sesekali mendapati seebuar rasa yang disebut cinta, mewarnai beberapa ukiran pejalanan penulis dalam menggalah harapan (ke dalam bentuk puisi). Penulis sebagai mana manusia umumnya, memiliki syahwat dan nafsu yang masih liar dan terkadang sulit dijinakan. Syahwat yang sebenarnya hanya pantas berkutat pada tataran semangat, gairah, dan gejolak lainnya yang sesuai dengan isyarat nurani yang terus merindu kepada petunjuk-Nya untuk berjalan di atas kebenaran. Sebagaimana manusia biasa lainnya, penulis memiliki idealisme spiritulal yang terejawantahkan dari pancaran nurani. Bahwa harapan itu akan diraih ketika kita bersabar dalam kebenaran yang telah ditentukan-Nya.
Dinamika apa pun kelak yang akan kita alami ke depan, jangan pernah melenceng dari nilai ideaalisme gema batin dan kilauan cahaya nurani. Idealisme yang suci bukan idealisme yang kaku, namun idealisme yang bersandar kepada realita, kebenaran, kejujuran dan nilai-nilai Ilahiyah. Idealisme yang kaku bukan idealisme, namun ambisi. Ambisi akan menghantarkan pada kekonyolan atau menjungkir balikan kedalam pragmatisme yang berkedok nilai rasional. Semoga antologi puisi “Harapan Yang Dinanti” dapat pembaca petik nilai hikmahnya. Bila sekiranya menggangap sekedar curahan hati, semoga curahan hati ini mampu menyejukan gejolak emosional pembaca, dan mampu mengobarkan semangat batin  pembaca yang mulai redup menggalah harapan cinta sejati. Salam ka(r)ya!.

HARAPAN MELIRIKKU
di tengah  kamar malam, muncullah cahaya mekar
syukur, sedepa demi sedapa Harapan mau melirikku
sejak kemarin cemas akanmu, tingkahmu membelakangiku
kuhanya melihat sekuncup jilbab menutup

tirai gelap mulai tersibak, sabar melawan gejolak
dalam hati menunggumu harap kompak
siapa gerangan Harap? aku menanti kita dapat berkenalan

aku pernah berpikir wajahmu rembulan
bukan! cahayamu melawan lentera jalan
sebagai cahaya kita bersahabat

anggukanmu menyiratkan engkau bunga tepi jalan
bukan! bunga milik rumah di tepian jalan
engkau menggeleng aku harus lanjut jalan-jalan

aku terus mencarimu duhai Harapan yang belum jua kutemukan
kadang seketika engkau ketepian, tak kusiakan ingin segera berbagi pengalaman
engkau tak berbalik, menoleh kepada orang lain :mengharapkanmu
kau bukan Harapanku

kali ini engkau hadir ketepian sekian lama dari penantian
apakah engkau Harapan yang kunantikan?

Kota Metro, Lampung  23-08-2013 sd 04-04-2014



HARAPAN YANG DINANTI

siang mulai larut dipudarkan oleh petang
petang semakin pekat, malam datang

dan lampu-lampu di taman perlahan berkedip
mengibas malam, terang jalan terungkap

di bawah lampu jalan bayangan gadis berkerudung
seperti apa rautmu, dengan rasa penasaran aku telah bertarung

sudah lama aku bertaruh dengan ketidakyakinan
keberanian telah berbalut sabar, cahaya menyibak bayangan

kini kita berhadap-hadapan
pasal-pasal perkenalan telah terbakar keheranan
telah lama bertemu namun tak saling mengenal

                                               
keyakinan lampu sepanjang jalan akan terus mengawal
hingga aku halal memegang tanganmu
siapa gerangan namamu wanitaku?

Kota Metro,Lampung 5 Oktober 2013


LIRIKAN LIRIH HARAPAN

Tetesan embun masih tertingal di dedaunan
Biyarlah angin menyeka air mataku
Biyarlah gerimis menghapus bekas kesedihan

aku menyulam koyak-moyak harapan
di waktu langit masih taram-temaram
siang pun sirna, subuh berteman rembulan buram
potret manusia sejuta harap menanti masa cerlang-cemerlang

oh! gembira buah harapan
aku tidak tahu datangnya, tidak pula perginya
kau seperti tiada

kini kilat bayangmu muncul
mersik-kering, suara jantung
“jangan berputus asa, teruslah kau bersabar dalam berjuang
jangan sampai kau tergolek kalah,
di depan pintu gerbang kemenangan.”

Kota Metro, Lampung 30 Desember 2013-14 Januari 2014


CITRAAN BATIN
Layaknya embusan angin, tak akan bermakna tanpa puisi.
Hanya udara digerakkan kebosanan.
Kita tak harus menuju lautan untuk menyelami gejolak ombak.
Tak harus ke bukit, menukik bahaya.
Lihatlah langit, sejuta citraan batin terbentang.
Bergulung-gulung awan berjalan, membawa duka lara masa silam.
Kembali angin berembus, menyugar helaian rambut.
Haruskah aku titipkan pesan untukmu
Bahwa hatiku antre
Di luar pagar gerbang aku tak sabar
Sejuta rasa untuk kuparkirkan.
29 Maret 2014



MENCARI WUJUD RAGA CINTAKU

Berbaris semut merayap tembok
tak pernah meyerah sekalipun berulang kali
tuanmu menuang minyak, buyar jalur barisanmu.
Merayap sejuta penasaran dalam batin.
Berkali-kali aku bertanya: ragamu itu yang mana duhai cinta?
Kau bereinkarnasi tanpa henti, bergulat dengan destinasi yang salah.
Mungkin akulah yang menyelewengkan jalanmu
namun mengapa kausepuh rinduku dengan orang jalanan?   
Kapan moksamu engkau rengkuh?
Menjadi semburat nirmala yang bersanding dengan cahaya batinku
Engkau tak bergeming, melantur melantukan segala kebimbanganku
dengan ketetapan Tuhan.
Kauhanya menjelmakan tanya menjadi kerisauan.
Aku pun melangkah dua kali belok kanan, mencari ragaku sendiri.
Terus kulalui jalanan kosong...
oh itu perigi!
Sesaat aku melarungkan keletihan tanyaku padanya.

Kota Metro, 010214


PERCAKAPANKU DENGAN CERMIN

Duhai cermin, kumelihat rindu
di mozaik matamu
Kau berujar:
"Sekarang gak ada cewek
yang dipangil sayang,
rasanya hampa...
Kapan ada lagi, denganku saling
ucap kasih sayang?"
Sabarlah, jika kau sabar
aku semakin sayang pada kamu...

Jangan terus meringkuk pilu
Kudatang basuh lukamu
Siapa yang akan menyemangatiku
Jika bukan kau!
Jangan kaumuram, memandangku
aku tak akan memecah wajahmu
kita saling membutuhkan.

Lihat, banyak mimpi bergelantungan!
Kemuramanmu, tak akan mengundang
Ibu Peri bersayap merpati
“simlababim!”
seketika Bidadari bermata jeli turun.
Buang siluet sinetron dari anganmu!

Sayangmu menunggu kesiapanmu
rabutmu gondrong, kumismu panjang
wajahmu berjerawat, jidatmu kurang cahaya.

Mimpi masih bergelantungan
di atas pohon asa.
Pegang galah ini!
kita unduh mimpi
yang mengampai di atas kapstok
kita gapai semua yang mengampai.

14:00 26 Deseember 2013



KELAHIRAN SAHABAT SUKMA
saat pertama kautatap cermin, aku datang
tersimpuh-rimpuh mengulum keluh
kaunanang fragmen mozaik, retak-berantak
keindahan yang menyerpih,

tak ada bahagia


kausketsa wajahku dengan air mata

kuyup, menggeletar tempurung sanubari

berkilatlah sukma, sinau-silau menghunjam-tunjam ...

utas tubuhmu terburai bersama
kelahiran jasad tanpa jiwa: pada kilapan
cermin air mata
sukmaku hinggap, hiduplah seinsan
 harapanmu kepadaku beradu
tersirat surat pengikat
aku sebagai cindaimu

Lampung Timur, 02 September 2014



BERLIAN DI PELUPUK MATA

Duhai berlian di pelupuk mata
kapan aku mampu menebak ujud kilau sinarmu
yang sering bertaruh dengan sorot mataku.
Pandanganku kau tawan, akibat kekalahanku
di meja perjudian harga diri.

Aku teringat saat pertama kauhinggap
kala aku tanpa badan
anting bidadari menghalangi pandangku.
Siapakah majikanmu? aku tak tahu raut pemilikmu
terlambat, terbawa aku dalam kelahiran.

Mungkin kau akan terus mengantung di pelupuk mata
akan mencair di pundak haru bidadariku.
Tapi dengan pundak siapa kaukembali?

Jangan kaukira hanya kamu yang risau,
 aku terus dicengkeram gusar!
hasrat bersandar di sembarang pundak kadang muncul
namun sapu tangan akan menjadi abu, hendak aku menyekamu.

Kau tak mau tumpah di pundak binal
ataukah engku yang bandel?
ataukah aku yang masih bebal?
kehendak Tuhan yang menitip misteri bidadariku
masih  belum mampu kubaca.
Kota Metro, Lampung, Indonesia 06 Januari 2014, 16:43 WIB



PENA ASMARA MERANA

Akulah pena, tak pernah lelah menggores
bersamamu cerita cinta tercurah.

Kini aku sendiri tanpa kertas
uraian cinta pun tertahan pada sebait puisi rumpang.

Masih teringat, bahasa cintamu yang tak kupahami
kini tinggal suatu paragraf yang tak selesai
aku tanpamu tak lengkap
separuh jiwaku, kapan gerangan terungkap?
akankah tinta mengering sebelum kutemukan kau berada?

Kepada siapa, kuurai semua kisah? dari yang sederhana hingga teragis.
Kemana kau melayang, sayang? entahlah!
Kadang kuingin menyerah, kucoret dinding dan tembok.
Namun  semakin buat kuresah, akan punahnya rasa yang terlukis.


Kini kusadari aku berada di tengah gelap-gulita,
semestinya yang kucari bukan kertas
namun secercah cahaya
segera kututup mata pena, kuyakin kau ada di sini
pijar harapan-sucilah yang tahu engkau berada kini.

Kota Metro,Lampung 30 Juni 2013


MATA BATIN PERMATA HATI

seratus puisi sudah, aku goreskan tentangmu
duhai cinta, jemariku telah menjadi mata pena
menggores utaian rasa dengan pikir sebagai tintanya

kau masih menjadi misteri
risauku terasa tak kauhiraukan
engkau terus tusuk hatiku
mungkin aku harus mengasah
permata mata batinku

kikir syariat begitu liris
sekalipun kikir pemabuk mengasyikan
hasilnya melelehkan liur anjing.

Aku terus tulis puisi cinta, hingga sejuta harap
mengkristal menjadi permata hati.

Kota Metro, Lampung 06 Januari 2014, 21:54 WIB



TEMBOK MISTERI

Menunduk di bawah kaki tirai
siapa gerangan di seberang hijab?
pikiran tak dapat mengecap.


Di balik tanggul seberang sungai
aku terus mewanti-wanti, duhai misteri
dalam gaib kita bersalaman.


Kita telah ditetapkan akan bertemu di atas sampan.
Sudah kepastian, melepas tirai jarak.
Kau tak dapat menggapai,
jika tanganmu tak kauulurkan.
Aku dapat menjumpaimu,
jika tak melangkah melewati jejakjejak kehampaan.

Perlahan seberang sungai tertutup tanggul bertembok
kini hatiku pun tergembok, dari mereka-reka sewujud sosok.
Berada di balik tirai terus aku menebak, walau aku terus terpojok.

16:40 19 Desember 2013



MENUJU PELABUHAN SURGA

Senja raya terurai senyum cahayamu....
balas puisi rinduku....
gayung bidukku kau sambut
hatimu  menggamit hatiku
kerlingan matamu, isyarat kita satu padu

Kau nobatkan aku jadi nahkodamu
asaku  jadi lautan mimpimu
relakanlah permata jantungmu
jadi hiasan topi kaptenku.

Pelabuhan surga, ujung penantian
tegurlah, jika aku mengantuk mengayuh
prahara lautan menunggu kita letih
keputusasaanlah bencana
teruslah engkau  menjadi semangat di dada.

Kota Metro,Lampung 06 Januari 2014, 21:20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar