SAJAK RAYUAN FIRDAUS
ANTOLOGI TUNGGAL
WAHID MUSLIM
PROLOG
Rasa
puitik sering kali tercipta saat dalam hati terbetik melihat pesona yang
mengagumkan. Pesona itu memunculkan gairah yang tak terduga. Kemudian
memunculkan sebuah rayuan sebagai wujud kekaguman.
Namanya rayuan sudah barang tentu ada pengharapan untuk mendapat balasan dari
siempunya pesona.
Sefiksi apapun karya
fiksi penulis mencoba mencari referensi dari petualangan hidup yang penulis
alami dan/atau yang orang dekat alami. Pesona di sini menyeluruh,
semua yang menarik hati. Juga tak selamanya serta merta muncul, kadang dari
endapan-endapan kenangan indah lalu. Kemudian mencipta sebuah karya yang
memunculkan gairah gembira yang sangat. Rayuan yang seolah merayu bidadari
firdaus. Walau mungkin sebenarnya tak selamanya inspiratornya rupawan, namun
keterpesoaan itu muncul dari dalam. Selamat menikmati, keritik, masukan dan
saran penulis harapkan dari pembaca.
Salam Ka(r)ya!
Wahid
Muslim
SENYUM GELIGI ASMARADANTA
Tersisa
air di atas daun
dari waktu kering embun
hijau melekat kilat,
bunga merah. Indah
dahan menjerat
asoka buatku terpikat
tanpa wangi tetap indah
kausibak tanaman itu
saat kaulewat
menggendong tas cokelat
Kau sapa aku dengan
alur bibir menjuntai basah
Engkaulah pelukis kebahagian
Tawa sebagai kanfasmu, melukis
gambar gigi gagah,
geligimu asmaradanta.
Menebar senyum dengan percuma
sungguh tangguh
susah payah aku,
menggalah langit hasratmu.
Kau berlalu, membawa bahagiaku
pilih pula piluku, gundah tergugah
padaku yang terdiam terhenti melukiskan
senyum indahmu.
Lampung Timur, 25-26 Agustus 2014
IGAUAN
Selendang biru mengurai gelapmu
tak ada lagi tabu menggenggammu
jangan ragu mengayuh.
Bersandarlah, ayo lawan payah
kita kayuh biduk kehidupan
kita arungi hingga ke tepian.
Kau yang sedari dulu
buatku tak mampu mengurai kata
tapi siapa namamu?
ingatan menerka.
Kota Metro,Lampung 16/12/2013
BUNGA ASOKA DAN JILBAB UNGU
Jubah ungu tumpah, membungkus aurat
Di dalamnya sukma halus terdapat
Gentayangan, tas mengantung di pundak
Lewat, bunga asoka engkau sibak
Duhai jilbab ungu yang gentayangan
Aku bunga asoka, letih di pelataran
Petiklah aku sebagai pelepas keheningan
Bawa pulang aku, oleh-oleh yang di
rumah
Kota Metro-Lampung, 03/12/2013, 16:10 WIB
SENYUM CAHAYA
Kuberjalan di tengah lorong malam
tanpa secercah kelebatan
cahaya
hanya senyummu dalam bayang
menjadi penerang.
Dalam gulita ini, masih terus kuingat kilatmu
Dalam gulita ini, masih terus kuingat kilatmu
dan kini menjelama, menjadi
semangat harapan.
Aku masih terus meraba
jalanmu
engkau yang hidup di tengah
bayang hitam
Namun tiada ragu menebar
sinar.
Sekalipun shadow master mengancam,
akan terus kaulawan dengan
senyum bersahaja
bagai pijaran lilin yang
tetap menghangatkan
walau dingin bersekutu
dengan angin-malam.
Bila api berkobar di tengah terik, itu biasa
perjuanganmu di tengah
malam.
Teruslah kaubersinar, bakar
cengkraman bayang.
Aku terus menyemangatimu,
dengan mewujukan dirimu
yang bersanding dalam
batin, memecahkah gulita jahanam.
25 Desember 2013 10:43, 08 Februari 2014
14:08
Tenangkan Hatimu
Biarlah aku menjamah hatimu
Seperti panas menguapkan air
Menguap hingga di puncak pagu
Biarkan aku menenangkan hatimu
Seperti tiupan sejenak, mendinginkan kopi panas
Panas dan dingin akan bersatu padu
Mufakat untuk kehangatan atau kesejukan
Aku dan kamu demikian
Agresif dan melankolis bergandengan
Bak tak ada pahit dan manis, tak ada kopi wangi
dalam mati lampu, Metro Timur 20:50 10-12-2013
Biarlah aku menjamah hatimu
Seperti panas menguapkan air
Menguap hingga di puncak pagu
Biarkan aku menenangkan hatimu
Seperti tiupan sejenak, mendinginkan kopi panas
Panas dan dingin akan bersatu padu
Mufakat untuk kehangatan atau kesejukan
Aku dan kamu demikian
Agresif dan melankolis bergandengan
Bak tak ada pahit dan manis, tak ada kopi wangi
dalam mati lampu, Metro Timur 20:50 10-12-2013
SELIMUT JIWA
di sini aku berdiri
di sana kau sendiri
lalu sukmaku berlari
terus mencari
tempat tinggalmu kini
tok tok tok...
ndok, keluarlah!
lihat rembulan
menawarkan kemewahan
ia bergulat dengan awan hitam
lindungi awan putih
pergumulan yang indah!
kau terpukau, aku terpaku
kapan kau rangkul aku?
aku kedinginan
gusar, bekas kaki berserak
aku melihat segala penjuru
mencari selimut jiwa!
aku hanya meringkuk
melihatmu dalam bayang
kau masih kusayang
Kota Metro-Lampung, 09 Januari 2014
MENJADI KITA
Akuku, kamumu
Akuku, kamumu
merdeka rasa mandiri
Aku, akumu
kamu, kamuku
daulat batin saling
menggamit
Dia, dianya
bukan diaku bukan diamu
biarkan petisinya
berserak hingga bisu
Kau kau kau
engkau
gadis rantau sebrang
pulau
Aku aku aku
daku
mendaki gunung mencari
suaramu
Batin sudah satu,
kapan raga serumah haru?
Kota Metro, Lampung 10 Januari 2014
Kota Metro, Lampung 10 Januari 2014
KUDATANG MENGGENDONG ASA
Dunia begitu rindang
Dunia begitu rindang
kutulis jalan panjang
dengan rindu yang mengembang
dengan cinta kutemui engkau sayang
Hidup terasa sunyi
tanpa cinta terpatri
haruskah aku terus menawan hati?
--penjarakan wajahmu dalam kesunyian ini
Kini aku di depan rumah
bukalah hatimu dengan ramah
ingin segera kurebah
di atas tilam resah
Tak usah sambut aku dengan pesta
cukup seisi rumah kauurai cerita
dari seberang aku membawa tahta
semoga warna senja kelak akan jadi
berita.
Lampung Timur, Lampung 040214
PERIGI MATAMU LAGUNA
Duhai Juita, kulihat
kerlingan matamu terlindap kesedihan. Engkau pun mengangguk
dengan segurat senyuman yang semakin menderai.
Sungai ujung matamu pun menghulu. Jemariku menuju muara; membendung
begitu banyak mutiara yang kudulang.
Perigi matamu laguna, dari situ kumampu berkaca duka-lara
kuingin terus menyelaminya, luas dan dalam.
Aku masih ingin bersajak, sejak engkau darinya beranjak
bahwa keteguhan bukan tolok-ukur: cinta darinya penuh paksaan
Teruslah bercerita aku akan terus mendengar
Kerelaanku tak dapat kamu ukur dengan persenan cendol atau siomay
karena aku akan terus menatapmu, hingga wajahmu melindap menjadi bayang
Aku akan terus mendengarkan jeritan batinmu, hingga tersayup-sayup gaip
tanganku akan menyeka air-matamu hingga ujung jari tak ada daya lagi
Dan entah sampai kapan, aku tak dapat mengukur
Kota Metro-Lampung Timur (Lampung) 06 April Sd. 04 Mei 2014
Duhai Juita, kulihat
kerlingan matamu terlindap kesedihan. Engkau pun mengangguk
dengan segurat senyuman yang semakin menderai.
Sungai ujung matamu pun menghulu. Jemariku menuju muara; membendung
begitu banyak mutiara yang kudulang.
Perigi matamu laguna, dari situ kumampu berkaca duka-lara
kuingin terus menyelaminya, luas dan dalam.
Aku masih ingin bersajak, sejak engkau darinya beranjak
bahwa keteguhan bukan tolok-ukur: cinta darinya penuh paksaan
Teruslah bercerita aku akan terus mendengar
Kerelaanku tak dapat kamu ukur dengan persenan cendol atau siomay
karena aku akan terus menatapmu, hingga wajahmu melindap menjadi bayang
Aku akan terus mendengarkan jeritan batinmu, hingga tersayup-sayup gaip
tanganku akan menyeka air-matamu hingga ujung jari tak ada daya lagi
Dan entah sampai kapan, aku tak dapat mengukur
Kota Metro-Lampung Timur (Lampung) 06 April Sd. 04 Mei 2014
INI MAUKU
Setiap aku berseloroh kepadamu
ada tanya yang menjadi zikirmu:
“Apa maumu?”
Sekali ini saja, tolong dengar!
:Kucari darimu, seketsa kualitas rumahku kelak.
Kuingin sebuah hubungan saling memperbaiki diri.
Ketika berdua di gazeboo kaupeka sekali mengkritiku,
lanjutkan, auramu teruslah kaukembangkan.
Dan kini meneleponmu sebuah penalti
darimu untukku.
Aku selalu mencari kesempatan ini
untuk menyatakan ...
--yang terhalang, tersiakan, tak kau pedulikan.
Bahwa
kini ada rasa gelisah, seperempat hidup tercuri
hujan
panah menggelayuti hati
badai
asmara menghanyutkan logika
Harus
kukatakan juga:
Sekarang
suaramu sudah menjadi nafasku,
Langkahmu
sudah menjadi kelopak mataku.
aku
mencintaimu,
kembalikanlah
hatiku yang hilang untuh kembali.
Jawabanmu akan menjadi obat hatiku.
Nyatakanlah apa pun yang kaurasakan
kepadaku
Diammu menjadi racun yang menyusup
dalam jantung.
Kota Metro, Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar