UNIVERSAL
ANTOLOGI
TUNGGAL
WAHID
MUSLIM
Tentang alam, batin, transedetal, ilusi dan nilai-nilai yang bersifat
universal mencoba penulis hadirkan pada tulisan ini. Ini upaya penulis untuk
menyelami pesona alam raya. Masalah
spiritual dan transendetal sekilas disinggung dalam antologi ini. Hanya
keuniversalan lebih mendominasi.
Gejala alam yang biasa muncul sehari-hari kadang terdapat keunikan.
Suasana transisi masih menarik bagi menulis, berbeda dengan antologi imajinasi
adventisius ini lebih realis. Walau mungkin muncul unsur imajinasi, tetapi
usaha tak memaksakan ada. Jika muncul kuat, itu tumbuh dari karya bukan
ditumbuhkan kreator. Juga tanpa mau takabur semua karya saja(juga karya Anda)
berasal dari ilham Illahi.
Salam
Ka(r)ya!
Wahid
Muslim
DUODRAMA MUSIM
Dedaun
jati meranggas gelisah
susah payah terpisah dahan indah
luruh, pada sunyi
berduri
tertinggal cabang sebagai tangan
yang mengetuk angkasa
berharap pintu
langit terbuka
Terbuka, hinggaplah kesejukan
kembali langit melukis, menawan
terperanga aku, tangan melambai
menggapai
menyentuh kaki langit
menjumput temali berwarna
lembayung senja, menyepatui cakrawala
Terbawa aku akan suka citanya, kupeluknya
terbang bersama menyusuri barat
tak mau gelap menelan tubuhku
senyap hinggap merayap
meninggalkan pepohonan yang
terlahir
sebagai malam
Endapan; Lampung Timur,
02-03 September 2014
LANGIT LAYANG-LAYANG
Terduduk kupandang angkasa
Tiga layang-layang tenang
Bernyanyi bersama alunan
Lembut udara
Berdiri kuinjak rerumputan
sudah kelabu
Terbakar, arang
Layang-layang menjadi
sembilan, aku tak percaya
Kunaiki anak tangga
Lalu berdiri di atas genting
Layang-layang menjadi
delapan belas
Aku semakin tak percaya
Aku terbang hendak
mendatangi
Layang-layang itu
Banyak dan tak terhingga
:Aku sebagai sebuah
layang-layang
Terbang beranung pada pusara
Langit yang melayang-layang
Tanpaku tahu ada di sana
Layang-layang lebih besar
Tujuh multiversal
melayang-layang
Di bawah arasy-Nya.
Kota Metro, 07-08 September 2014
SESEORANG MEMINJAM RUPAKU
Ada seseorang kelimpungan
mencari kata-kata, terselip
di bebatuan rerumputan. terus
ia cari, tak jua berjumpa
makna.
Ia mencalang langit berputar,
tiga
layang-layang tenang
bernyanyi
bersama angkasa. hendak ia gapai,
tak sampai
kemudian berlari dengan rupaku
oh, benarkah pria itu aku? aku
menolak enggan ...
Akulah layang-layang berupa
pangeran pedang, merobek
langit
hendak masuk ...
benarkah aku kini mengejar
sosok nyata yang disemukan
angan?
aku tak percaya, namun benar
adanya
Kini peminjam rupa
menatapiku, seperti
bercermin
keheranan. lalu
mencari pemilikku hendak
ia protes, bahwa siapa
berani memasang wajahnya.
“kau mencari jati diri, aku
berharap kaukembali buka
pintu langit yang tertutup”
tegurku untuknya.
Ia teringat akan rangkaian kata
indah, yang dilayangkan ke
angkasa.
saat hendak menembus,
terhenti
terbuai dengan awan pelagi
Metro-Lamtim, 0708Sept-0506Jan 1416
AWAN HITAM ANGGUN
Duduk, aku di atas besi berjalan
aku letih, tanganku dalam kerumunan semut.
Dua bola mataku dicuri awan hitam anggun,
pandanganku tertuju padamu.
Segera kau berlari, pergi
harus di mana lagi, kucari?
pencuri mata, peneduh terik.
Panas datang di atas jari-jari lentik.
...
Awan Hitam menangis,
perlahan histeris.
Aku mengejar terang,
engkau mengejar bayang...
Kota Metro, 30/11/2013,19:00 WIB
aku letih, tanganku dalam kerumunan semut.
Dua bola mataku dicuri awan hitam anggun,
pandanganku tertuju padamu.
Segera kau berlari, pergi
harus di mana lagi, kucari?
pencuri mata, peneduh terik.
Panas datang di atas jari-jari lentik.
...
Awan Hitam menangis,
perlahan histeris.
Aku mengejar terang,
engkau mengejar bayang...
Kota Metro, 30/11/2013,19:00 WIB
KEMBALI TERGODA MATA LEMBAYUNG
Berulang kali kulukiskan semburat
lembayung
Dalam sajak, aku bosan
Selalu saja tergoda keindahan itu
Mata tercuri, lari
Mencari pandangmu tertutup
Rindang akasia
di sesawahan, aku menangkapmu
Kaulekatkan mataku
Yang teronce, melihatmu
tampil sempurna engkau
Mata langit berbinar lembayung
Nirmala, bulat purnama
Sempurna, sempurna
Dan Mahasempurna Pencipta
Lengkap dengan pentangan biru
Serta alismu merayuku
Dan timur rembulan, datang
Siap menggantikan kehilanganku
Padamu, untuk senja ini
04-09-2014/30-12-2015
GERBANG SENJA (MEMBUKA MALAM)
Pohon yang selalu hijau kian menghitam
dari celah-celah langit yang tak tertutup dedaunan
berkilat jingga senja
awan-gemawan pun ikut mewarna
Terus kupandangi matahari
yang mengembara menuju barat
ia pun tenggelam
sesuara muncul dalam semak
selangkah lagi malam sempurna
Bintang satu-satu muncul
ada satu yang menarik hati
muncul dalam selarik senja jingga
bintang itu berpendar mengiringi awan pudar
Aku lihat timur, malam sudah sempurna
bulan kian meninggi tak ada isyarat senja
Aku kembali ke ufuk barat, tinggal awan jingga tipis
bintang lebih terang
selangkah lagi malam datang
09 Juni 2014
dari celah-celah langit yang tak tertutup dedaunan
berkilat jingga senja
awan-gemawan pun ikut mewarna
Terus kupandangi matahari
yang mengembara menuju barat
ia pun tenggelam
sesuara muncul dalam semak
selangkah lagi malam sempurna
Bintang satu-satu muncul
ada satu yang menarik hati
muncul dalam selarik senja jingga
bintang itu berpendar mengiringi awan pudar
Aku lihat timur, malam sudah sempurna
bulan kian meninggi tak ada isyarat senja
Aku kembali ke ufuk barat, tinggal awan jingga tipis
bintang lebih terang
selangkah lagi malam datang
09 Juni 2014
PEPERANGAN GELAP-TERANG
Dua pemuda gegitaran, menyanyikan
Tentang peperangan gelap-terang
Benderang menabuh genderang
Berlaga di telaga warna
Menghunus gulita, tertawa dan
Terluka-luka
Gelap terus terhunus, namun
Tak berujung kematian
Darahnya mengucur, takperlu
Membalas benderang pun
Akan redup jika ia
Lupa bukan
Mahacahaya ...!
02-04 September 2014
KUPU-KUPU DI SIANG HARI
Kupu-kupu, berindang ria
Kupu-kupu, berindang ria
di bawah pepohon
bidara
sembunyi dari
matahari
mencari
serbuksari
terus mencari
kesana-kemari
terus menari
tanpa dapati
puspa mekar
Kupu-kupu, menari-nari
tarian ketakutan
tawon-kumbang
mencari
serbuk sari
haruskah
berebut?
haruskah
berbagi?
haruskah pergi?
kupu-kupu
bertarung
kekhawatiran
dan penasaran.
Kota Metro-Lampung, 10/12/2013 10:48 WIB
Kota Metro-Lampung, 10/12/2013 10:48 WIB
SENGKETA KEMATIAN INGKAR DAN MAUT
Ingkar
tak menginginkan maut
maut
takbutuh ingkar
namun
keduanya harus berjumpa
maut
membawa mati melepas
kesenangan
...
“akulah
yang akan
membunuhmu”
kirim
ingkar kepada maut
Keduanya
saling bersepionase, hingga
dunia
berujung pada pangkal usia,
melingkar
bundar mekar
langit
sempoi-sepoi
sangkakala
denting-dengting
mizan
membawa
mereka berjumpa
siap
saling menikam
Maut
terlalu pandai
ingkar
terlalu culas
maut
semakin dekat, kuat
ingkar
semakin lemah, lengah
hingga
terjungkal
mata
pedang tertuju ke leher
“Beri
aku waktu taubat satu menit!”
mendengar
permohonan ingkar, maut
senyum,
“percuma!”
berbalik
badan ia hendak
pergi, ringankan siksa kubur ingkar
Memaksimalkan
sisa tenaga
ingkar
menghunjam punggung hingga tembus
maut
berbalik badan senyum,
ingkar
terkejut, ia telah
menghunus
dirinya secara gaib
keduanya
berakhir bersama
dunia,
mati
03-04 September 2014
KEMBALI
TERSUNGKUR KECEWA
Kembali ia kecewa, luka dalam
berdarah
Kemudian lari ke sawah-sawah,
menuju petilasan
Terpencil, tak ada yang tahu
kecuali kuntul dan gemak
Lalu ia bersila memejam mata,
menghirup
Dalam-dalam semilir angin
Satu demi satu lukanya mulai
sembuh
Terus ia nikmati dalam pejam,
hingga kelopak mata
Bergeliat menikmati alam yang
terbuka
Arak-arakan awan putih menggoda
hati
Terus ia tinjau, hingga menyadari
langit biru terhalangi ...
Oh, kepergiannya bukan menghapus
luka
Tetapi jejak-jejak kaki langit
Gunung dikejauhan telah
dikaburkan asap
Entah mungkin juga jejaknya
Ingin kembali ia mendaki dan
menulis asa di langit
Tetapi asa bukan
bersajak, namun menjadikan sajak cerminan asa.
Petilasan ini bukan pelepas
lelah, seolah perjuangan terbuai
Begitulah, jika keberania lama
tertunda dan
Madu dingin terlalu sering diecap
28 Oktober 2015
KEHANCURAN ZAMAN
Kulirik matahari, remuk berantakan
cahayanya terempas, terampas
kedustaan
Kupandang langit-langit kian
tabu, terogol kehadiranku
yang membiru bercampur pekat.
Keheningan sudah berselingkuh keramaian
kejujuran topeng kesombongan
kedustaan sebagai siasat menang.
Apa yang mampu diperbuat manusia
yang terpojok pada tubir berhantu
hanya menggores tembok, menulis puisi parau.
Aku hanya melesat-lesat
Pada halilintar bisu
Yang kilatnya padam sekali pandang.
Pejuangan bukan lagi untuk menang
Kekalahan bukan siapa yang lemah
Ialah ensensi eksistensi di mata-Nya
Lampung Timur, 30 Agustus 2014
UBI LEHER
Menjalar aku sebagai urat lehermu
Bercabang, meliuk-liuk berserabut akar
Setiap waktu menyerap keringat-
Keringat dari kulitmu.
Dagingmu kumpulan pasir putih,
Bertumpukan mentutupi tubuh
Daun-daun mencuat kehausan, menyerap segala
Peluhmu dan ebusan napas.
Kelak akar-akar ini akan
Berbuah, atau tetap berserabut
Dan kelak aku akan dicabut
Dari lehermu, nyawamu tak terpaut.
Lagi, buah itu akan dihidangkan
Untukmu
Sebagai ubi racun atau madu.
Coretan 29 Agustus 2014
Jadi sudah terbitkah Bang?
BalasHapus