Senin, 25 Januari 2016

UNIVERSAL


UNIVERSAL
ANTOLOGI TUNGGAL
WAHID MUSLIM

Tentang alam, batin, transedetal, ilusi dan nilai-nilai yang bersifat universal mencoba penulis hadirkan pada tulisan ini. Ini upaya penulis untuk menyelami pesona alam raya.  Masalah spiritual dan transendetal sekilas disinggung dalam antologi ini. Hanya keuniversalan lebih mendominasi.
Gejala alam yang biasa muncul sehari-hari kadang terdapat keunikan. Suasana transisi masih menarik bagi menulis, berbeda dengan antologi imajinasi adventisius ini lebih realis. Walau mungkin muncul unsur imajinasi, tetapi usaha tak memaksakan ada. Jika muncul kuat, itu tumbuh dari karya bukan ditumbuhkan kreator. Juga tanpa mau takabur semua karya saja(juga karya Anda) berasal dari ilham Illahi.

                                                                                                            Salam Ka(r)ya!
                                                                                                            Wahid Muslim



DUODRAMA MUSIM

Dedaun jati meranggas gelisah
susah payah terpisah dahan indah
luruh, pada sunyi berduri
 tertinggal cabang sebagai tangan
yang mengetuk angkasa
berharap pintu langit terbuka

Terbuka, hinggaplah kesejukan
kembali langit melukis, menawan
terperanga aku, tangan melambai menggapai
menyentuh kaki langit
menjumput temali berwarna
lembayung senja, menyepatui cakrawala
 
Terbawa aku akan suka citanya, kupeluknya
terbang bersama menyusuri barat
tak mau gelap menelan tubuhku
senyap hinggap merayap
meninggalkan pepohonan yang terlahir
sebagai malam

Endapan; Lampung Timur, 02-03 September 2014



LANGIT LAYANG-LAYANG

Terduduk kupandang angkasa
Tiga layang-layang tenang
Bernyanyi bersama alunan
Lembut udara

Berdiri kuinjak rerumputan sudah kelabu
Terbakar, arang
Layang-layang menjadi sembilan, aku tak percaya

Kunaiki anak tangga
Lalu berdiri di atas genting
Layang-layang menjadi delapan belas
Aku semakin tak percaya

Aku terbang hendak mendatangi
Layang-layang itu
Banyak dan tak terhingga
:Aku sebagai sebuah layang-layang
Terbang beranung pada pusara
Langit yang melayang-layang

Tanpaku tahu ada di sana
Layang-layang lebih besar
Tujuh multiversal melayang-layang
Di bawah arasy-Nya.

Kota Metro, 07-08 September 2014



SESEORANG MEMINJAM RUPAKU

Ada seseorang kelimpungan
mencari kata-kata, terselip
di bebatuan rerumputan. terus
 ia cari, tak jua berjumpa
makna.

Ia mencalang langit berputar, tiga
layang-layang tenang bernyanyi
bersama angkasa. hendak ia gapai,
tak sampai
kemudian berlari dengan rupaku
oh, benarkah pria itu aku? aku
menolak enggan ...

Akulah layang-layang berupa
pangeran pedang, merobek langit
hendak masuk ...
benarkah aku kini mengejar
sosok nyata yang disemukan angan?
aku tak percaya, namun benar adanya

Kini peminjam rupa
menatapiku, seperti bercermin
keheranan. lalu
mencari pemilikku hendak
 ia protes, bahwa siapa
berani memasang wajahnya.
“kau mencari jati diri, aku
berharap kaukembali buka
pintu langit yang tertutup”
tegurku untuknya.

 Ia teringat akan rangkaian kata
indah, yang dilayangkan ke angkasa.
saat hendak menembus, terhenti
terbuai dengan awan pelagi

Metro-Lamtim, 0708Sept-0506Jan 1416
 


AWAN HITAM ANGGUN

 
Duduk, aku di atas besi berjalan
aku letih, tanganku dalam kerumunan semut.
Dua bola mataku dicuri awan hitam anggun,
pandanganku tertuju padamu.

Segera kau berlari, pergi
harus di mana lagi, kucari?
pencuri mata, peneduh terik.
Panas datang di atas jari-jari lentik.

...

Awan Hitam menangis,
perlahan histeris.
Aku mengejar terang,
engkau mengejar bayang...

Kota Metro, 30/11/2013,19:00 WIB
 
 
KEMBALI TERGODA MATA LEMBAYUNG

Berulang kali kulukiskan semburat lembayung
Dalam sajak, aku bosan
Selalu saja tergoda keindahan itu

Mata tercuri, lari
Mencari pandangmu tertutup
Rindang akasia
di sesawahan, aku menangkapmu

Kaulekatkan mataku
Yang teronce, melihatmu
tampil sempurna engkau
Mata langit berbinar lembayung
Nirmala, bulat purnama
Sempurna, sempurna
Dan Mahasempurna Pencipta

Lengkap dengan pentangan biru
Serta alismu merayuku
Dan timur rembulan, datang
Siap menggantikan kehilanganku
Padamu, untuk senja ini

04-09-2014/30-12-2015



GERBANG SENJA (MEMBUKA MALAM)

 
Pohon yang selalu hijau kian menghitam
dari celah-celah langit yang tak tertutup dedaunan
berkilat jingga senja
awan-gemawan pun ikut mewarna

Terus kupandangi matahari
yang mengembara menuju barat
ia pun tenggelam
sesuara muncul dalam semak
selangkah lagi malam sempurna

Bintang satu-satu muncul
ada satu yang menarik hati
muncul dalam selarik senja jingga
bintang itu berpendar mengiringi awan pudar

Aku lihat timur, malam sudah sempurna
bulan kian meninggi tak ada isyarat senja

Aku kembali ke ufuk barat, tinggal awan jingga tipis
bintang lebih terang
selangkah lagi malam datang

09 Juni 2014

 
PEPERANGAN GELAP-TERANG
 
Dua pemuda gegitaran, menyanyikan
Tentang peperangan gelap-terang
Benderang menabuh genderang
Berlaga di telaga warna
Menghunus gulita, tertawa dan
Terluka-luka
 
Gelap terus terhunus, namun
Tak berujung kematian
Darahnya mengucur, takperlu
Membalas benderang pun
Akan redup jika ia
Lupa bukan
Mahacahaya ...!
 
02-04 September 2014
 


KUPU-KUPU DI SIANG HARI

Kupu-kupu, berindang ria
di bawah pepohon bidara
sembunyi dari matahari
mencari serbuksari
terus mencari
kesana-kemari
terus menari
tanpa dapati puspa mekar

Kupu-kupu, menari-nari
tarian ketakutan
tawon-kumbang mencari
serbuk sari
haruskah berebut?
haruskah berbagi?
haruskah pergi?
kupu-kupu
bertarung kekhawatiran
dan penasaran.

Kota Metro-Lampung, 10/12/2013 10:48 WIB




SENGKETA KEMATIAN INGKAR DAN MAUT


Ingkar tak menginginkan maut
maut takbutuh ingkar
namun keduanya harus berjumpa
maut membawa mati melepas
kesenangan ...
“akulah yang akan
membunuhmu”
kirim ingkar kepada maut

Keduanya saling bersepionase, hingga
dunia berujung pada pangkal usia,
melingkar bundar mekar
langit
sempoi-sepoi sangkakala
denting-dengting mizan
membawa mereka berjumpa
siap saling menikam

Maut terlalu pandai
ingkar terlalu culas
maut semakin dekat, kuat
ingkar semakin lemah, lengah
hingga terjungkal
mata pedang tertuju ke leher

“Beri aku waktu taubat satu menit!”
mendengar permohonan ingkar, maut
senyum, “percuma!”
berbalik badan ia hendak
pergi,  ringankan siksa kubur ingkar

Memaksimalkan sisa tenaga
ingkar
 menghunjam punggung hingga tembus
maut berbalik badan senyum,
ingkar terkejut, ia telah
menghunus dirinya secara gaib
keduanya berakhir bersama
dunia, mati

03-04 September 2014




KEMBALI TERSUNGKUR KECEWA

Kembali ia kecewa, luka dalam berdarah
Kemudian lari ke sawah-sawah, menuju petilasan
Terpencil, tak ada yang tahu kecuali kuntul dan gemak

Lalu ia bersila memejam mata, menghirup
Dalam-dalam semilir angin
Satu demi satu lukanya mulai sembuh
Terus ia nikmati dalam pejam, hingga kelopak mata
Bergeliat menikmati alam yang terbuka

Arak-arakan awan putih menggoda hati
Terus ia tinjau, hingga menyadari langit biru terhalangi ...
Oh, kepergiannya bukan menghapus luka
Tetapi jejak-jejak kaki langit

Gunung dikejauhan telah dikaburkan asap
Entah mungkin juga jejaknya
Ingin kembali ia mendaki dan menulis asa di langit
Tetapi asa bukan bersajak, namun menjadikan sajak cerminan asa.

Petilasan ini bukan pelepas lelah, seolah perjuangan terbuai
Begitulah, jika keberania lama tertunda dan
Madu dingin terlalu sering diecap

28 Oktober 2015



KEHANCURAN ZAMAN

Kulirik matahari, remuk berantakan
cahayanya terempas, terampas
kedustaan
Kupandang langit-langit kian
tabu, terogol kehadiranku
yang membiru bercampur pekat.

Keheningan sudah berselingkuh keramaian
kejujuran topeng kesombongan
kedustaan sebagai siasat menang.
Apa yang mampu diperbuat manusia
yang terpojok pada tubir berhantu
hanya menggores tembok, menulis puisi parau.

Aku hanya melesat-lesat
Pada halilintar bisu
Yang kilatnya padam sekali pandang.
Pejuangan bukan lagi untuk menang
Kekalahan bukan siapa yang lemah
Ialah ensensi eksistensi di mata-Nya

Lampung Timur, 30 Agustus 2014



UBI LEHER

Menjalar aku sebagai urat lehermu
Bercabang, meliuk-liuk berserabut akar
Setiap waktu menyerap keringat-
Keringat dari kulitmu.
Dagingmu kumpulan pasir putih,
Bertumpukan mentutupi tubuh
Daun-daun mencuat kehausan, menyerap segala
Peluhmu dan ebusan napas.

Kelak akar-akar ini akan
Berbuah, atau tetap berserabut
Dan kelak aku akan dicabut
Dari lehermu, nyawamu tak terpaut.
Lagi, buah itu akan dihidangkan
Untukmu
Sebagai ubi racun atau madu.

Coretan 29 Agustus 2014



1 komentar: