Selasa, 19 Januari 2016

ROMANTIKA HARMONI DALAM ILUSI

ROMANTIKA HARMONI DALAM ILUSI
ANTOLOGI TUNGGAL
WAHID MUSLIM
Antologi ini merupakan kumulasi karya-karya spesial penulis. Tak mau mengatakan yang terbaik sebab penulis harus terus berkarya, tetapi bisa dikatakan ini merupakan awal kebangkitan berpuisi penulis yang mulai menemukan daya berpuis. Sebelumnya yang cenderung pada puisi polos hendak berusaha meningkat ke puisi prismatis. Pasang surut dalam berkarya penulis lalui, mungkin ini titik-titik puncak yang pernah saya capai.
Kadang membuat saya terbebani untuk konsisten dan terus membuat yang lebih dan terus lebih baik, sementara saat-saat jumut kadang tidak kita rasakan. Standar yang tinggi memang tak mudah dilampaui, karena ada beban tanggung jawab. Berbeda saat banyak yang mengatakan ini belum bisa dikatakan layak kemudian banyak muncul masukan, justeru ini memberi gairah. Bagaimana pun tinggi atau rendah pencapaian yang pernah saya lalui, menjadi penulis yang berkembang itu jauh lebih penting sebagai tanggung jawab.



SEGENGGAM APEL

Keras hatimu buah apel
yang merah menawan, menggoda mata pisau

Aku belah keangkuhanmu
:tak ada ulat di sana.
Aku masih terbayang
berita malangnya apel malang
namun engkau milikku sekarang

Wangimu kuhidu, aku jadi teringat wangi sampoo kanak dulu
Engkau masih tak mengerti aku ingin menggigitmu
--renyah kulitmu, lembut dagingmu
manis aku kecap, harum masih tersisa.

Namun engkau marah, ku tak menginginkan bijimu
di dalam tubuhku engkau bergejolak. Telah salah memilih aku.
Hamillah rasa maluku
akulah si keras hati ingin menggodamu;
engkau bersikeras menjaga benihmu.

Lampung Timur, 7 Mei 2014


Cakar Cakrawala Malam

Betapa kirana raut wajahmu telah memancang cakrawala malam
renjanaku selalu ingin memandangmu. Dan padang  bintang menjadi prasasti masa silam. Akan kita yang terus berjuang memintal harapan dengan kesetiaan.
Namun kini aku hanya mampu memandangmu dalam halusinasi fatamorgana kabut hidup.


Duhai lubhyatiku, apakah engkau tahu arti kesunyainku? Kesunyian adalah ketika aku tidak lagi mendengar suaramu. Kesunyain itu ketika aku hanya mampu mengigau menyembut namamu.

Malam menjadi bunga-bunga layu, dengan redupnya bintang-bintang
bayangmu melayah selaras dengan degup jantungku
namun membisu, tak ada suara. Hanya seperti biasanya
engkau senyum seperti dipaksakan.
Dwiarti yang engkau sasapkan, apakah malu padaku ataukah jengah denganku?
Kini aku tahu jawabnya, engkau telah bercinta dengan yang lain.

Kota Metro, Lampung 03/04/2014
*lubhyati = cinta


ITUKAH KABUT CAHAYA?

Hamburan kabut pagi yang tersisa
berjumpa dengan cahaya jingga
Di bawah pohon palma
membentuk kabut cahaya

Langit biru terpentang,
Hampir jam delapan, rembulan
tak sempurna masih ada

Aku hanya menatap sekuncup bunga
Ungu: tak tau namanya
Ketika beberapa kali
manusia menerjang kabut cahaya

Seolah mereka menantang jingga
Aku hanya tertawa
Semangat perlawanan mereka ada
Dari semangat matahari
--Namun siang akan dijadikan malam
--Malam dirias menjadi siang

Kota Metro-Lamtim 21-28 Mei 2014


POHON CAHAYA

Dalam gegap-gempita gelap
Cahaya itu terus tumbuh
Melukat akar tertanam dalam-dalam
Semarak emas mengalir ke segala penjuru
Hingga menuju jemari dedaunan
Sekuncup demi sekuncup daun hitam
menjadi perak
Terus menyerap remang-remang

Pohon cahaya itu bersinar hingga batas semburat
Bernaung kunang-kunang mendulang warna
Cahaya kunang-kunang pula yang menumbuhkan pohon itu

Terus tumbuh, semakin gulita di ujung semburat
Ah, cahaya itu mulai bosan
Tak cukup remang-remang terserap
Tak cukup percikan kilat hinggap
Namun bila tirai-mirai tersibak, pohon cahaya akan hilang
Lampung Timur, 22 Juli 2014


SELENDANG AWAN


Aku memelukmu bulan dari mata jalang anak manusia
-- yang mengagumimu hanya untuk hasrat kebosanan

Aku memelukmu bulan dari serigala-serigala yang mengeramatkanmu
--membuat kelelawar begidik, berhamburan mengerumunimu

Aku memelukmu bulan menggantikan selimut lukisan
yang bersandiwara akan kesetian punguk terus berkisah di penantian

Gelap
mereka hanya melihatmu gelap
tak jua bayangmu
Karena kamu telah menjadi mahkota malam.

140414


TAFSIR MATA TERBUKA

Senyum nirwana, menyungginglah fajar cakrawala
menghardik dingin pagi.

Buana raya becerita
akan tanya tak kunjung tuntas

:Definisikan pengertianmu
apakah pertanda surga loka dunia akan binasa
ataukah neraka segera hadir enggan sirna?

"Tampunglah embun pagi, obat dahaga, bila semburat emas tiba menggila"
ujarmu bersekutu dengan bebunyian beburung pagi.

Lampung Timur, 14 April 2014
 






Menggalah Bintang Nirmala

Betapa api rindu telah lama tersingkap dalam sekam
tanpa tingkap, mengudara segala rasa
terusku belajar meramu, meracik formula purbakan ingatan wajahmu
dalam benakku, terus mereba kamu yang telah menjelma menjadi halusinasi.

Duhai kenangan, kurindu amarahmu. Aku kangen kasih-sayangmu
namun sadar, waktu terus menggeruskan langkah cerita lalu,
aku kini masih belajar menerawang gerangan
yang layah hinggap semburat nirmala melebihi bias auramu
tetapi siapa?
Aku masih terus belajar menggalah bintang kartika di langit angan.

07/02/2014


Prasasti Menyandarkan Sadar

Sayu semburat siang
tak ada daya seperti kemarin memunahkan gelap
kini di sela-sela etalase cahaya, temaram licik berjaya
bahwasanya, masih tersisa hangat di leher menantang berani,
 mewujud kita berjuang menjadi kirana

renjana akan prasasti menyandarkan sadar
yang kucari kaucuri
Lalu kauberi sunyi
dan datang
hilang
                                                             
Lubhyatimu memasang pasung
sekarang sudah penuh
separuh pikiranku ada padamu
saatnya semuanya kita sudahi
bersatulah dua sanubari
membentuk jiwa baru
enyahkan gelap menghadang


Kota Metro, Lampung 03/04/2014





Tidak ada komentar:

Posting Komentar