Senin, 25 Januari 2016

IMAJINASI ADVENTISIUS



IMAJINASI ADVENTISIUS
ANTOLOGI TUNGGAL
WAHID MUSLIM

Imajinasi merupakan daya pikir untuk menciptakan suatu gambaran. Adventisius kata sifat yang memiliki arti: timbul secara sporadis di tempat tidak biasa. Begitu yang saya pahami di KBBI. Maka secara tersirat berarti imajinasi liar yang dijinakan dalam rangkaian kata. Ini merupakan bisa dikatakan kelanjutan dari proses transformasi. Semula yang cenderung prosais menjoga berubah lebih ilusif, dalam artian positif.

Mungkin ada yang beranggapan sok imajinatif atau sok surealis. Jelasnya memang ini usaha penulis mencoba membagi daya imajinasi kepada pembaca. Eksplorasi daya hayal dan eksplorasi kata semakin ke bawah akan semakin jelas tampak. Walau memang perlu menyiapkan kamus, jika merasa menemukan kata-kata arkais dan membuat bingung. Penulis tetap berusaha keras taat dengan kaidah, maka proses pembuatannya pun sering menggunakan KBBI untuk mengonfirmasi kata yang digunakan kecuali memang memang tidak ada istilah lain yang menampung daya rasa penulis, dan belum diserap kedalam bahasa Indonesia maka penulis menggunakan kata tersebut. Misal kata marijuana.
                                                                                                            Salam Ka(r)ya!

                                                                                                            Wahid Muslim


BINTANG HATI

Hati ini kamar malam, tanpa penghuni. Hanya ada tilam berkelambu biru. Dengan seprai berlukiskan seorang putri bunga. Tertidur sepi menunggu jodohnya.

Hanya gulita berkuasa. Putri, warnamu tak nyata. Jendela pun terbuka, menghadap di luar sana. Angkasa raya pun bagaikan pentangan kain hitam. Kerlap-kerlip bintang pendarkan keindahan masa silam.

Cahaya bintang datang, ibarat kunang-kunang keharuan. Titik-titik terang itu mencipta kupu-kupu cahaya. Terus terbang melewati jendela kaca yang terbuka. Kupu-kupu cahaya itu mengibas kerlingan berwarna, menyibak aroma bunga.

Lukisan seprai itu begitu nyata. Tampak seorang putri berkulit kuling langsat. Dengan alunan rambut panjang pada pinggangnya. Hitam, dengan kerlipan sibakan kupu-kupu cahaya.

Ibarat sungai surga, bibir madu sang putri. Kupu-kupu cahaya kehausan, hinggap melepas penantian terang bintang masa silam.

Hati ini kamar alam, lebih gulita semak-semak di luar sana. Tanpa bintang, tanpa cahaya. Hanya berharap jendela terbuka, membawa kupu-kupu cahaya. ‘Tuk menjadi bintang hati.

Angin menutup jendela kaca. Lukisan sang putri membuka mata. Kupu-kupu cahaya belum lepas kehausan. Awan hitam menutup bintang-bintang, Malam kian sempurna.

Lampung Timur, 08 Agustus 2014 Tipografi 2



SEJUTA NYAWA

Mencium aroma itu, aku bagai seekor kucing tua yang mengendus bau ikan asin. Semakin bau itu kususuri semakin menjauh: setiap selangkah hendak kuterkam.

Kauterus berlari; menjauh. Hingga bau tanah kerontang jumpalitan dihunjam hujan. Aku di balik jendela hanya bergidik. Dingin dan mematikan.

Sukmaku pun mencuat dari raga. Menembus kaca: pecah. Aku menjadi burung merpati, mengepak sayap mengejarmu.

Di tengah badai ini, sehelai demi sehelai bulu sayapku luruh. Semakin kencang angin membadai. Takjua kau kurengkuh. 

Sayapku patah, aku terjatuh terbawa arus. Jiwaku menjauhi tubuh merpati. Aku menjadi seekor ikan yang lucu. Terbawa aku ke parit mencarimu. 

Kauhanya menyungging senyum. Hanya menuding, "lihat, adakah aku di hatimu?"

Hatiku berkarat, tak terawat. Sejuta nyawa takcukup menaklukanmu. Jika aku tak persiapkah takhta di hatiku.

"Ratuku siapa kamu?"

Kau hanya menyeringai. "Aku buah akhlak laku batinmu!" Aku terhenyak, menunduk malu melihat hati berkarat. Jiwa masih binatang, kau cahaya teman nurani dalam hati kecil sanubari.

LAMTIM, 080614

Ket: terhenyak = terperenyak(lihat KBBI).


NYANYIAN DEDAUNAN

Helaian kisah itu gugur dan berserak. Waktu tak lagi peduli dengan sikap diam kita, ia berbica dengan bahasa tubuhnya yang terus merambati tubuh. Kita pun kini tak lagi hijau. 

Kita menjadi isyarat kesunyian, hanya bergeliat kala angin berbisik. Iya! Hanya bergeliat, menunggu kawan-kawan kita dari reratingan gugur. Tak ada lagi cerita, sejak bangku itu ditinggalkan tuannya. Tak ada lagi cerita, sejak lumut melapukannya. Tak ada lagi cerita, hanya satu dari kita akan dipungut, dituliskan pilipur rindu untuk penikmat keindahan sehelai daun istimewa.

Kita hanya menunggu pembakar geladak menumpuk semua yang ada lalu menyulut sebatang korek api. Kita pun perlahan dirambat warna jingga menyala. Sukma kita menjadi kepulan asap, tertiup angin muson dan berhamruan di udara; sirna. Jasad kita hanya menunggu api menjadi bara, dan kita menjadi abu. Terbawa angin, menjelaga persada; tiada.

Atau kita akan dibusukkan hujan, menjadi humus dan dipeluk akar moyang kita. Kembali kita menjadi krolofil, dalam sepucuk dan kita menjadi sama.

Apa pun yang terjadi yang tersisa hanya hilang, selebihnya binasa. Kita hilang tersesat kesunyian, atau binasa karena waktu memuaikan yang terkandung. Karena waktu di genggaman Ia Yang Qodim.

Lampung Timur, 3 Mei 2014

*Pemenang Kelas Imajinasi



MENERAWANGMU YANG JAUH DI SANA

Sudah berapa senja kita taksaling memagut asmara? Tanpamu kini kusendiri. Tanpamu, kuhanya menonton televisi sendiri.

Pada layar kaca itu kulihat lautan luas. Ada kapal feri menyeberangi Selat Sunda. Ada kita memandang langit timur, "Apa bagusnya sih sunrise itu?" Ujarmu menatap mataku dengan cahaya penasaran: menunggu keindahan pesona matahari yang kembali membiaskan cahaya pertamanya. Dari lautan luas kita menunggu kedatangannya.

Debur ombar menerpa tubuh kapal. Mengusik tawa kita; melepas luka. Kita masih memandang langit, langit gelap--dengan selarik jingga pudar pada ujung kaki langit--yang memudar menjadi bayang-bayang abu-abu.

Bayang-bayang itu perlahan menjadi jutaan warna. Melukis panorama bibir sungai. Ada kita di sana, duduk di atas batu. Dinaungi pohon besar(yang tak kita tahu namanya).

Kau melepas senyum, aku mengelus pundakmu. Hanya untuk melihat aliran sungai cokelat kita berani menuruni tanggul kali.

Lihat, dan lihatlah. Lipatan-lipatan aliran sungai, membawa helaian daun gugur. Lihatlah lagi, pada sehelai daun ada aku.

Aku yang terduduk di hadapan layar kaca. Merangkai kata takhiraukan tayangan yang ada. Sendiri tanpamu, tanpa kenangan indahku. Tanpa suara merdumu. Tanpamu: obat penepis sunyi.

Lampung Timur, 8 Juni 2014


AROMA MARIJUANA NAFASMU

Ketika aku mencoba mendedah sosokmu, gelora udara panas membahang dan hawa dingin pun aku rasakan telah punah. Segenggang suluhku melamur, menjadi sejuk nafas cerita: siapa dirimu di masa silam. Hawa dingin yang menyugar rambutku beringsut ke pori-pori kepala, merajah pikiran yang tersangai menjadi hangat, dan memercik semangat yang menyelubungi dada. Mengubah sesak nafas menjadi seni menyerum morfin nirwana. Terlarang, tanpa keberanian memindai dawai bidadari, pertemuan kita terlarang.

Lewat lelagu pujangga terasing, aku mencoba menambal kesabaran yang telah bocor. Aku rasa engkau bidadari bermata jeliku. Ainul Mardianah yang Tuhan sasap di terminal surgaloka, menjelang penantian keabadianku memandang keindahan Wajah-Nya. Begitu bombatis  bukan? Namun, bukankah hidup berwal dari merantai mimpi? Biarlah mereka menfatwa aku sebagai pemimpi gila yang terlalu mendaki. Nyatanya mata rantai sudah mengais resah-gelelisahmu.

Hingga waktu tak dijanjikan tiba. Tanpa belas kasih engkau mual dengan borok jantungku dan menelisik jantung baru tanpa ukiran. Lihatlah, lihat jantungku. Tak ada tempat lagi aku menorehkan harapan. Selaksa larik luka kecewa membuatku tak percaya. Engkau tak dapat dipercaya. Bukan hanya dadaku yang engkau susupi aroma marijuana nafasmu. Nyatanya engkau hanya merogoh hatiku, masihkah ada darah segar, dan apakah tulang rusukmu cocok? Oh begitu sesak asap muslihatmu, di depan jam dinding, tak dapat ku berbicara. Menggelatuk hatiku, waktu penanda kita pertama berkenalan kini berdebu dan bersarang laba-laba. Dan kini retak dipanaskan marak api amarah kekecewaan.

7 Maret 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar