TRANSFORMASI
ANTOLOGI
TUNGGAL
WAHID
MUSLIM
Semula
penulis berpikir puisi seperti tebak-tebakan imajinasi kreator kepada pembaca.
Saat pembaca mengartikan berbeda maka jawabannya salah. Pergaulan membuat
penulis memahami pemahaman seperti ini salah. Puisi memang ungkapan rasa yang
dituangkan dalam tulisan, saat sudah jadi tulisan maka imajinasi puisi menjadi
milik pembaca. Kreator tidak boleh membatasi imajinasi. Maka pembaca tidak
perlu perlu mewawancarai imajinasi kreator, tetapi menanggapinya dengan kritik,
ulasan, dan apresiasi. Agar keduanya sama-sama mampu mengembangkan daya
kontemplasi.
Semulai penulis
berpikir kalau puisi ini harus ditulis dalam bentuk bait, haram kalau ditulis
dalam bentuk paragraf. Puisi bebas tentu tidak mengenal pembolehan dan juga
pelarangan tersebut. Berbagai karya yang bergaya pusi prosa menarik penulis
untuk ikut mengeplorasi diri. Maka penulis mencoba memasuki zona transisi
ini(antara prosa dan puisi). Mungkin ada yang bilang karya dalam antologi ini
puisi prosa, prosa lirik, puisi dalam bentuk bait, mungkin juga prosa biasa
atau hanya tulisan biasa saja(sebab ada paragraf
yang kurang dari tiga kalimat, atau alasan lain). Jelasnya ini adalah proses
tranformasi, daya puisi yang memasuki wilayah transisi prosa.
Salam Kar(y)a!
Wahid Muslim
TERMASUK KAMU
Termasuk kamu, yang menghiasi
kebimbangan. Ibarat kehadiran buliran hujaan pada kerak-kerak lumutan.
Bergeliat dahaga hidup sirna, sementara.
Termasuk kamu, yang menghiasi mimpi.
Menepi kilau kemintang dalam gulita kalbu. Remuk kilaunya, menghunus terdiam
perlahan sirna. Sebagai lubang hati yang tertutup panah-panah, sesaat sirna dan
kian berlubang.
Termasuk kamu, yang menghilangkanku dari
keraguan dan ilusi ketakutan. Aku berani berdiri sendiri, menunggu waktu itu
datang. Mengusap keningmu.
Merah darah membara, berkibar gairah
untuk ingin. Sesekali aku tertahan. Apa pun tetap sama, hanya kehormatan yang
berbeda. Merangkulmu dengan cahaya terang atau cahaya hitam. Cahaya-cahaya
harapan masih mengendap dalam setiap sel darahku, semuanya termasuk kamu.
Angin mendebur bunga-bunga bidara.
Berhambruan segala yang ada. Menghinggapi angan, menghalang memandang awan.
Semua melintang, terpendar selaksa wajah, termasuk kamu.
Kota Metro, 09
Oktober 2014
SKETSA
NYERI RINDUKU PADAMU
Sekali lagi kau hadir kembali, bersama
kedatangan musim bahagia yang berhamburan di alam raya. Engkau titisan masa
lalu yang tak tuntas, sempat kulupakan namamu sebagai tawa bahagia. Kini
kehadiranmu dengan nama berbeda. Kita berkenalan sekali lagi.
Kembali sepercik cahaya hadir dalam
gulita. Berjumpa denganmu: terik mentari aku enyahkan, reributan celoteh tak
kuhiraukan, sejuta pandang berantak datang kusirnakan. Hanya kamu, ya hanya
kamu kuajak bicara.
Aku mengenalmu dari zaman yang berbeda.
Kerisauan pun datang, kaurayu aku “beri aku sekuntum mawar putih itu Kak?”
ucapmu. Mungkin bercanda, kuyakin engkau ingin itu menjadi nyata, namun
kekawatiranku: kupu-kupu yang mudah ditangkap akan mudah lepas. Kuhanya
bergeming menatapmu, dan kaupergi.
Aku tak hanya mencari siapa yang mau
menerima mawar putih, namun benih-benih mawar yang akan kutebar di taman bunga
orang yang kucinta. Sehingga layu satu ceriamu, mekar kecerian yang lain. Butuh
waktu tak sebentar kuutarakan ini, namun kini engkau pergi lagi. Entah kapan
kita berjumpa, aku merindukanmu untuk kembali.
Lampung Timur, 21 November 2014
MENUAI
NIRMALAMU
Cinta itu bergelora membahangkan dada. Bergeriaklah segala rasa: bahagia, nestapa, kecewa dan hampa melekat bergumul mewarnai ruas-ruas paru-paru.
Cita menyala memberi terang. Mendatangkan harapan, menghadirkan keinginan untuk menggapainya. Dan mewujud sebagai keyakinan.
Cinta dan cita berasimilasi dalam wadah sukma. Bersenyawa mewujud sosok dirimu.
Dan denyar netramu menjadi semburat nirmala. Hangat kurasakan. Teduh kupandang. Lalu jasadku diam terperanga; dimatikan kesunyian. Sedang sukmaku di hadapanmu hanyalah banyang-bayang.
Yang suatu ketika bayangan itu akan hilang oleh cahaya lebih terang. Atau menyatu dengan kegelapan jahanam.
Biarlah begitu adanya. Satu hal yang harus kau tau: tak semua rasa yang terkandung harus disiarkan. Namun semua asa harus dinyatakan. Karena tanpa nyata, harapan hanya akan teronggok di alam mimpi.
Maka apa pun dan siapa pun jasadmu aku akan berusaha menuai nirmalamu.
Lamtim, 15 April 2014
Cinta itu bergelora membahangkan dada. Bergeriaklah segala rasa: bahagia, nestapa, kecewa dan hampa melekat bergumul mewarnai ruas-ruas paru-paru.
Cita menyala memberi terang. Mendatangkan harapan, menghadirkan keinginan untuk menggapainya. Dan mewujud sebagai keyakinan.
Cinta dan cita berasimilasi dalam wadah sukma. Bersenyawa mewujud sosok dirimu.
Dan denyar netramu menjadi semburat nirmala. Hangat kurasakan. Teduh kupandang. Lalu jasadku diam terperanga; dimatikan kesunyian. Sedang sukmaku di hadapanmu hanyalah banyang-bayang.
Yang suatu ketika bayangan itu akan hilang oleh cahaya lebih terang. Atau menyatu dengan kegelapan jahanam.
Biarlah begitu adanya. Satu hal yang harus kau tau: tak semua rasa yang terkandung harus disiarkan. Namun semua asa harus dinyatakan. Karena tanpa nyata, harapan hanya akan teronggok di alam mimpi.
Maka apa pun dan siapa pun jasadmu aku akan berusaha menuai nirmalamu.
Lamtim, 15 April 2014
KEHABISAN MIMPI MENCARI JATI DIRI
Tajam
cahaya tusuk mata yang jauh dari pijar angkasa. Begitu berat, menyeret dan
meletihkan. Dua tiga anak manusia di tengah malam kampus raya, mencari
sinyal-sinyal warna murah. Kala siang segepok tagihan lapar dan gundah. “Di
mana kemenangan harus diletakan?” ujar mata keletihan.
Kuterus
menggaruk kaki yang dicakar nyamuk malam. Aku melihat jendela, wajahku
tertangkap cahaya. Kini aku pun tahu, dagu dan kepalaku berbulu memanjang. Baru
kemarin aku merasa ke pangkas rambut, kini rimbun lagi. Dua dekade sudah aku
lalui. Aku tak menyangka melampaui sejauh ini. Aku yang kemarin anak kecil yang
meraba mimpi, kini harus hidup dalam mimpi tak terbayang. Oh, haruskah hayalan
ditidurkan, kemudian dibiarkan berlayar, melarung di samudra tanpa tepi?
Aku
kehilangan gaya, tarian cakar langit mengoyak arah. Aku kehilangan daya,
teronggok dalam dimesi waktu yang tak pernah aku duga. Aku mati langkah, engkau
yang mudah aku tebak hanya menjadikanku penasehat. Aku kehilangan bicara,
terdiam membisu dalam batin. Berbicara lewat tulisan ini, kepadamu.
Kota
Metro, 17 Januari 2014
PENANTIAN
SENDIRI
Kududuk menunggu pesanan, melepas
kebosanan menanti kupandang dua sekawan pria berkerjasama meracik hidangan.
Kulihat ke kanan, dua orang ibu-ibu menghadap dan mengasuh anak-anak mereka.
Kualihkan pandang ke muka, dua pasang sejoli menikmati hidangan tak
bosan-bosan. Samping kiriku juga dua orang gadis, makan sambil berbincang
melepas kesepian.
Kutertunduk semakin merana, sedok dan
garpu, sepasang sumpit, gelas dan ceret menertawakan kesendirianku.
Kesendirianku tak berkawan dan tanpa kekasih. Hanya karena rasa penasaranku
tentang menu baru di warung baru ini, aku ke sini sendiri. Tak ada yang dapat
aku bagikan cerita di sini.
Aku pun pulang, sepi di tengah
keriangan. Seorang teman ingin kuantar. Bersama seseorang kawan itu aku semakin
sepi. Iring-iringan terang dalam malam, tak ada yang tak berpasangan pria dan
wanita. Entah itu pacar, suami-isteri, atau kakak dan adik. Bahkan seorang ayah
pun bersama putrinya yang masih mungil. Semua berbahagia dalam keriangan.
Hingga ....
Langkah terhenti, terderak ketam
sampaian. Langit labirin jutaan warna, membawaku berada pada sebuah taman
bunga. Aku melangkah sesekali tertawan bunga-bunga kuncup hendak mekar. Kali
ini aku berada dalam kebimbangan memilih.
Kota Metro, 10-10-14
BERAPA KALI
Kali pertama mata pagi mengintai etalase kamarmu, semenjak langit kelam tersibak suluh cakrawala. Kilap-kilap buliran air tumpah menyuluh mata yang enggan terbuka, hinggap menerawang kebimbangan. Lalu mimpi retak, mata pun tergetak.
Kini kali kedua, sungai-sungai dalam ragamu mengalir--setelah sungai surgamu pernah membuai pada tilam-tilam malam--membasuh peluh. Maka masuklah sukma(mu) dalam sungai, menyemburatkan keterasingan, ketakutan, dan keputusasaan.
Ketiga kali engkau berjalan, telanjang bergelinjang. Memandang terang, semesta lantang: dirimu bayang bayang hitam. Kembali mengelandang jalang, kau cari kawah-kawah luka: yang dulu kau enyahkan.
Kali ke empat, bayangmu terbuang ibarat kotoran terbuang dalam jamban. Namun ragamu adalah materi, sebagai minyak sukma. Akan terus engkau panen minyak-minyak itu untuk kaujual sebagai minyak-minyak. Atau engaku suluhkan sukma, hingga minyak-minyak habis dan tak mampu lagi sukma redup.
Lampung Timur, Agustus 2014
Kali pertama mata pagi mengintai etalase kamarmu, semenjak langit kelam tersibak suluh cakrawala. Kilap-kilap buliran air tumpah menyuluh mata yang enggan terbuka, hinggap menerawang kebimbangan. Lalu mimpi retak, mata pun tergetak.
Kini kali kedua, sungai-sungai dalam ragamu mengalir--setelah sungai surgamu pernah membuai pada tilam-tilam malam--membasuh peluh. Maka masuklah sukma(mu) dalam sungai, menyemburatkan keterasingan, ketakutan, dan keputusasaan.
Ketiga kali engkau berjalan, telanjang bergelinjang. Memandang terang, semesta lantang: dirimu bayang bayang hitam. Kembali mengelandang jalang, kau cari kawah-kawah luka: yang dulu kau enyahkan.
Kali ke empat, bayangmu terbuang ibarat kotoran terbuang dalam jamban. Namun ragamu adalah materi, sebagai minyak sukma. Akan terus engkau panen minyak-minyak itu untuk kaujual sebagai minyak-minyak. Atau engaku suluhkan sukma, hingga minyak-minyak habis dan tak mampu lagi sukma redup.
Lampung Timur, Agustus 2014
LIMA RUPA
Ada lima rupa hampa, nestapa mereka pandang menjelang petang. Senja kian temaram, malam menjelang. Pelita tertingal di hari yang terang.
Oh, lelangit terlilit langking. Pecah, derak nestapa melengking. Jantung menggantung tersurung terpanggang kering. Tak ada arah yang mampu diterjang.
Jika cahaya menjadi bahan peperangan, teplon di dinding hanya hiasan. Hanya berbaring, ketika yang disengketakan hilang: tak segera dipersiapkan. Terkubur dalam pusara sesal, hanya sebuah pertanda: batu nisan.
Lampung Timur, Juni 2014
Di bawah rindangan, sepuluh wajah bermeditasi. Melingkar, saling bergandengan menggenggam-tanggang. Ada binar mata, ada pejam mata, ada nanar mata, ada gelisah mata dan mata-mata.
Terus erat tangan ini, kita selami setiap hirupan napas. Kita hela segala derita yang merodong dalam dada. Pilu dan sakit tak ada pada nganga luka jasmani, tapi di sini, jantung yang bersembunyi di balik bilik dada.
Angin merimbunkan kesejukan. Satu dua daun jatuh pada genggaman tangan yang teralahkan, terbuka. Satu persatu mata memejam. Tepat aku berada di hadapanmu, menatapmu terpejam sedari pertama. Kini bukalah matamu.
Saat sehelai daun kian mengunging, hijau dan rontok. Kita hanya bisa duduk menadah dedaunan itu jatuh di telapak tangan kita. Rentang senja dan fajar telah ia jalani, telah ia nikmati ujung-ujung hari namun kita selalu mencari keindahan dengan lembaran-lembaran uang. Semua berhamburan seperti daun berguguran, satu hal yang kita tahu keindahan tak ternilai. Hanya mampu kita hargai, di bawah pohon perenungan kita menghayati apa yang kita dapati dari setiap keindahan yang kita ecap, dan berapa juta keindahan yang kita enyahkan. Tak ada keburukan, yang ada, keindahan tak terbentuk, maka bentuklah setiap keburukan itu menjadi keindahan.
Lampung Timur, 27/07 sd 31/08 2014
HASRAT
Gulungan awan-gemawan melukat dari mercu mimpimu. Dari semburat netra, kauhadirkan sejuta bahagia. Awan-gemawan itu, terbentuklah aku sebagai seeokor sapi. Gemuk, dan siap mencari manjamu di ladang. Kau gembala aku dengan setumpuk jerami sabar.
Tiba-tiba mimpi lebih elok lari di hadapanmu. Kau tinggalkan sabar, kendaraiku dengan cemeti kemarahan. Terus kaupaksa tubuhku yang limbung mengejarnya. Hingga rahangku memoncong lurus, mengecil. Tandukku tanggal satu, mengecil. Dan tubuhku kian ideal sebagai pelari bersayap.
Aku menjadi kudah putih mengejari mimpi-mimpimu, yang menembus awan hitam. Aku pun menjadi kuda hitam, terusku terbang. Hingga ia mendarat pada sebuah pulau taman bunga melati. Mimpimu mewujud kijang lincah. Ah, kau marah. Tak berharap demikian. Kemarahanmu mengubah aku menjadi macan kumbang. Sayap-sayap memudar dalam bayang-banyang, lenyap. Kuterkam mimpimu lalu kumakan.
Kau ingin menjadikanku raja hutan, namun pulau ini sudah di kuasai bangsa burung. Engkau pun memintaku menguasai alam atas. Sayap-sayap itu pun kembali muncul dari balik bayang-bayang. Aku pun terbang, tubuhku menguning dan berbulu lebat di wajahku. Aku menjadi singa terbang. Terus terbang dan terbang hingga aku menjadi rajawali.
Sudah lima kayangan kita lalui, sudah lima kerajaan burung kita taklukan. Namun tak ada yang membahagiakanmu. Semuanya menuntut kebahagiaan, karena engkau pemimpin mereka. Mereka akan menghalangimu menuju surga.
Engkau pun menginginkan merpati, aku pun selalu siap menjadi seperti yang kau mau. Akulah hasratmu. Seberapapun kau terus mencari mimpi-mimpimu aku akan terus menemanimu. Hingga masa menjemputmu pada batas akhir. Tinggal aku yang akan menjadi cerita dalam buku dongeng anak-anak, atau hilang begitu saja. Hanya tergantung siapa kamu, apa inginmu, dan bagaimana perjuanganmu.
Lampung Timur, 22-27 Juli 2014
Sebelum "MENUAI NIRMALAMU" terbit dalam sebuah blog, karya saya sudah diterbitkan orang lain. Dengan tanpa konfirmasi kesaya sudah berani mengubah format bait dan menghilangkan titimangsa. Sampai saat ini belum ada konfirmasi dari yang bersangkutan.
BalasHapusJelasnya puisi saya ini saya terbitkan pertama kali suatu grup ini linknya.
https://www.facebook.com/groups/imabsii/permalink/654869714560436/